Belajar Strategi Coca-Cola, Merek Lawas yang Populer di Era Digital
Perubahan kebiasaan masyarakat di era digital, membuat pamor merek tradisional memudar. Agar sebuah merek dapat tetap diingat meskipun bisnis, teknologi, dan perilaku konsumen berubah drastis, perusahaan pemilik merek harus mampu beradaptasi.
Popularitas merek kerap naik dan turun seiring masanya. Namun demikian, ada pula merek tradisional yang mampu bertahan menyesuaikan gaya hidup masyarakat saat ini seperti Coca-Cola. Merek minuman yang didirikan sejak 1892 ini menjadi salah satu merek paling berharga dunia senilai US$ 64,4 miliar atau sekitar Rp 909 triliun.
Untuk menciptakan ketahanan merek, profesor Harvard Business School, David Collins mengatakan ada empat kerangka kerja yang bisa diterapkan. Ia menyebut model ini dengan MACE atau kepanjangan dari mastery, accessibility, candence dan ensnarement.
Mastery atau penguasaan, diartikan sebagai pemberian hadiah kepada konsumen yang terlibat dengan konten karena menggunakan produk. Hal ini akan menciptakan efek keteratikan atau afinitas terhadap merek produk.
Poin kedua yakni accessibility (aksesibilitas). Produsen harus menjadikan merek-merek produknya mudah ditemui dan tersedia sebanyak mungkin bagi konsumen. Maksimalkan distribusi produk atau layanan perusahaan di seluruh saluran.
Berikutnya, selalu mendesain dan memasarkan produk untuk pengguna pertama. Strategi tersebut memungkinkan produk tetap digunakan oleh pengguna maupun generasi baru.
Tips ketiga adalah candence atau berirama. Perusahaan pemilik merek harus terus aktif membuat berita dan konten informasi seputar mereknya. Caranya, bisa dengan sering merilis produk baru atau setidaknya pembaruan produk.
Cara kedua, dengan maksimalkan aset promosi, seperti video pemasaran untuk mengkomunikasikan segalanya tentang perusahaan.
Ke empat yakni ensnarement atau keterikatan. Menjadikan merek selekat mungkin dengan membangun peralihan biaya dengan menciptakan efek jaringan.
Dua strategi yang dapat digeneralisasikan untuk mencapai hal ini, dengan sistemisasi dan teknik pemijahan (mengawinkan atau menelurkan) produk. Contohnya, pada startegi promosi Coca-Cola dengan mendorong pemberian hadiah antar-teman efetif meningkatkan penjualan dari 1,7 miliar menjadi 1,9 miliar kaleng per hari.
MACE bisa menjadi cetak biru untuk merek apa pun, bahkan merek tradisional - untuk berkembang dan tetap relevan dalam jangka panjang.
"Konektivitas digital membutuhkan pemikiran yang cerdas untuk memanfaatkan kerangka kerja ini. Perusahaan yang tidak efektif terlibat dengan konsumen di platform digital bakal ditakdirkan menjadi dinosaurus," katanya dikutip dari Harvard Business Review, Jumat (13/11).
Sehingga pola pikir MACE menurutnya harus selalu diterapkan dan pastikan merek perusahaan bertahan di dunia yang semakin digital.
Menurut laporan yang diterbitkan WPP dan Kantar, terdapat 100 merek ternama dengan nilai merek (brand value) terbesar secara global. Pada 2020, Amazon berhasil menjadi pemimpin dengan nilai merek terbesar hingga US$ 415,9 miliar atau Rp 5,9 ribu triliun.
Di bawah Amazon, merek bernilai dunia kembali diisi oleh sejumlah perusahaan teknologi. Seperti Apple memiliki nilai merek sebesar US$ 352,2 miliar atau Rp 5,1 ribu triliun. Microsoft mengumpulkan US$ 326,5 miliar yang setara dengan Rp 4,7 ribu triliun. Sedangkan Google mempunyai nilai merek US$ 323,6 miliar atau Rp 4,66 ribu triliun.
Sepuluh perusahaan dengan nilai merek terbesar bergerak di bidang retail, teknologi, pembayaran, dan makanan cepat saji. Dua perusahaan berasal dari Tiongkok, sementara sisanya bertempat di Amerika Serikat.