Upaya Mengurangi Emisi dari Sektor Swasta
Korporasi di Indonesia kian serius menanggapi isu perubahan iklim. Perusahaan-perusahaan besar mulai memperhatikan jalannya usaha mereka, serta apa saja dampak lingkungan yang ditimbulkan. Para pebisnis juga serius memikirkan pendanaan apa yang cocok bagi sektor swasta demi meminimalkan risiko perusakan alam.
Upaya tersebut masih terbatas dilakukan industri besar. Korporasi yang memiliki komitmen pada transisi energi bergabung ke dalam aliansi Kadin Net Zero Hub. Perkumpulan ini diinisiasi oleh Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia). Sejauh ini, baru 50 perusahaan yang bergabung. Ke depan, Kadin berharap agar lebih banyak perusahaan mendaftarkan diri dalam aliansi itu.
“Adakah UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) di situ? Sampai hari ini, tidak ada. Itu PR (pekerjaan rumah) kita,” tutur Muhammad Yusrizki, Ketua Tim Kerja Harian Kadin Net Zero Hub, dalam HSBC Summit 2022, Rabu (14/9/2022).
Ia menjelaskan, untuk tahap awal, Kadin fokus kepada industri massal yang memiliki dampak luas, yakni industri tekstil, penghasil kertas, serta makanan dan minuman. Rantai pasok tiga industri ini cukup panjang, bahkan menyentuh para pelaku UMKM.
Pendekatan yang dilakukan Kadin dalam rangka mendorong nol emisi di sektor-sektor tersebut dilakukan secara vertikal. Artinya, edukasi mengenai perubahan iklim dan pendampingan untuk transisi energi dilakukan terlebih dulu kepada industri besar. Kemudian, berlanjut ke industri menengah dan kecil.
Secara praktikal, Kadin mengedukasi tentang pentingnya dekarbonisasi, dan membantu tim internal perusahanan untuk melakukan inventarisasi. Asosiasi pengusaha ini juga membantu perusahaan mengembangkan peta jalan menuju target nol emisi.
Yusrizki mengutarakan, pemerintah perlu membuat regulasi yang mampu menekan sektor swasta agar mempunyai kesadaran tentang perubahan iklim. Selanjutnya, pemerintah juga perlu memberikan insentif yang nyata bagi perusahaan. Khususnya, bagi mereka yang berkomitmen mengurangi emisi.
Hal lain yang tak kalah penting adalah pendampingan bagi perusahaan yang berkomitmen, namun kurang memahami cara tepat untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Pada sisi lain, pemerintah juga harus terus aktif menciptakan skema pendanaan hijau yang cocok bagi sektor swasta.
Ihwal regulasi memang menjadi hal yang krusial. Sebab, rata-rata 76 persen energi final yang dikonsumsi industri terus berasal dari fosil. Sementara itu, sisanya dari listrik yang menggunakan batu bara. Proses dekarbonisasi oleh sektor swasta juga harus ditopang regulasi yang mengayomi perusahaan untuk mencapai target nol emisi.
Tantangan utama dalam hal ini, imbuh Yus, adalah pola pikir. Bersama pelaku usaha, pemerintah harus terus mengampanyekan bahwa perubahan iklim adalah ancaman yang nyata, bahkan membawa risiko lain berupa ancaman ekonomi dan keuangan global.
Kampanye, edukasi, serta regulasi yang tepat dapat mengubah strategi bisnis perusahaan agar mempertimbangkan faktor iklim dalam setiap keputusan bisnis. Meskipun, tidak semua perusahaan punya pengetahuan dan sumber daya yang mumpuni untuk mencapai target nol emisi.
“Karena masih banyak perusahaan yang tidak mengerti, jadi kami mulai membantu perusahaan untuk menghitung, misal berdasarkan SBTi (The Science Based Targets initiative), emisi gas rumah kacanya berapa. Dengan begitu, kita deklarasikan komitmen ini pelan-pelan,” tutur Yusrizki.
Beberapa perusahaan di Indonesia secara aktif mulai memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, menurutnya, mereka tetap membutuhkan lebih banyak opsi mengenai sumber EBT, serta insentif keuangan atas inisiatif pemanfaatan EBT.
Jalan Terjal Menuju Nol Emisi
Dunia bisnis global begitu terbiasa menggunakan energi berbasis fosil dan batu bara yang tak dapat diperbarui dan akan segera habis stoknya. Penggunaan batu bara misalnya, sudah dilakukan selama 250 tahun sejak era revolusi industri di Eropa.
Namun, komitmen dalam Paris Agreement yang menyatukan visi dekarbonisasi global baru berlaku efektif pada 2016, dengan target rata-rata kenaikan suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius. Hanya ada waktu 34 tahun sebelum 2050 bagi warga dunia untuk membenahi sistem pengelolaan energi.
“Kalau kita hanya menerapkan business as usual, ya kita akan menjadi free rider. Kita butuh terobosan agar business tidak usual,” ujar Yusrizki.
Ia menambahkan, saat ini Kadin sedang membangun inisiasi pembuatan indeks iklim pertama di pasar modal Indonesia. Indeks tersebut akan menjadi ruang bagi investasi hijau. Ekosistem investasi hijau dari pasar modal bisa dimanfaatkan untuk mendukung pendanaan korporasi yang berkomitmen kepada upaya dekarbonisasi.
Inisiasi ini dilakukan bersama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), dan akan diluncurkan pada November 2022. Dukungan dari pasar modal akan sangat membantu proses transisi energi dari sektor swasta. Selain itu, dukungan dari perbankan juga dibutuhkan agar upaya transisi energi dapat lebih cepat dilakukan.
Sementara itu, Head of Sustainability & Corporate Affairs PT Unilever Indonesia Tbk Nurdiana Darus memaparkan, secara internal pihaknya memiliki rencana aksi transisi iklim (climate transition action plan / CTAP). CTAP tersebut menargetkan pengurangan emisi pada 2030, dan pencapaian nol emisi pada 2039. Target-target ini, menurutnya, bukan hal yang mudah.
“Kalau kita melihat untuk perbaiki diri sendiri (Unilever), ya kami bisa melakukannya dengan financing kami secara internal. Tapi tantangan yang besar di sini adalah gotong royong dengan mitra kami agar semuanya bergerak ke arah nol emisi pada tahun 2039,” kata Nurdiana.
Ia mengungkapkan, sejauh ini Unilever mulai memanfaatkan bahan bakar biomassa dan panel surya. Perseroan juga bekerja sama dengan 300 penyuplai utama perusahaan untuk mengurangi emisi dari aktivitas usaha yang dilakukan.
“Pada 2030, kami akan seratus persen net zero carbon, secara internal. Kemudian kami jangkau para mitra, pemasok, dan distributor,” ujarnya. Setelah menggandeng para mitra utama, Unilever juga akan mengarahkan agar seluruh pelaku rantai pasok produksi dan distribusi Unilever peka terhadap isu perubahan iklim.
Salah satunya, Nurdiana memberi contoh, adalah para petani. Mereka diberi pendampingan oleh perseroan agar menerapkan usaha yang peka terhadap risiko lingkungan. “Supaya mereka memahami cara bercocok tanam yang lebih climate smart dan climate resilient. Harus paham pendaur ulangan air, misalnya,” imbuhnya.