RI Produsen Karbon Terbanyak Kedua Dunia dari Sektor Alih Fungsi Lahan

Tia Dwitiani Komalasari
5 Desember 2023, 07:35
Petugas Manggala Agni Daops Banyuasin memberikan kode saat berupaya memadamkan kebakaran lahan di Desa Muara dua, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (21/9/2023). Berdasarkan data dari Balai Pengendalian Perubahan Iklim
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/rwa.
Petugas Manggala Agni Daops Banyuasin memberikan kode saat berupaya memadamkan kebakaran lahan di Desa Muara dua, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (21/9/2023). Berdasarkan data dari Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera sepanjang Januari hingga Agustus 2023 luas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan mencapai 4.082,8 hektare yang terbagi menjadi 2,947,8 lahan mineral dan 1.135,0 lahan gambut.

Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menunjukan bahwa Indonesia menempati posisi kedua negara dengan penghasil karbon tertinggi di dunia dari sektor alih fungsi lahan. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia.

Dikutip dari laporan tersebut, Indonesia menghasilkan 0,93 miliar ton CO2 per tahun, atau berkontribusi  sebesar 19,9% dari  jumlah karbon yang dihasilkan dunia.

Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Brasil yang menghasilkan 1,08 miliar ton CO2 per tahun. Negara tersebut berkontribusi terhadap 23,1% produksi karbon dunia dari sektor alih fungsi lahan.

Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.

Emisi Karbon Indonesia Meningkat Tajam

Laporan tersebut juga mengungkapkan jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18.3% pada tahun tersebut. Peningkatan karbon tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan negara-negara lainnya.

Selain alih fungsi lahan, capaian kenaikan emisi disumbang dari deforestasi yang tinggi dan penggunaan energi fosil, khususnya batu bara.

Emisi global CO2 dari bahan bakar fosil pada 2023 adalah batu bara (41%), minyak (32%), gas (21%), semen (4%), pencahayaan kilang dan lainnya. Proyeksi tahun 2023 didasarkan pada data awal dan pemodelan.

Laporan Global Carbon Budget disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan menyatakan bahwa tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.

Tanpa upaya untuk mengurangi emisi, ada 50% kemungkinan bahwa kenaikan suhu 1,5ºC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi pada Laporan IPCC.

Profesor Pierre Friedlingstein dari Global Systems Institute, Universitas Exeter, yang memimpin penelitian ini, menyatakan, dampak perubahan iklim sudah jelas terlihat di sekeliling kita.

"Namun, tindakan untuk mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil masih berjalan sangat lambat," ujarnya dalam laporan tersebut, dikutip Selasa (5/12).

Professor Corinne Le Quéré, Profesor Riset Royal Society di Sekolah Ilmu Lingkungan Uni Emirat Arab mengatakan, emisi global pada tingkat saat ini dengan cepat meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer kita,. Hal ini menyebabkan perubahan iklim tambahan dan dampak yang semakin serius dan meningkat.

“Semua negara perlu melakukan dekarbonisasi ekonomi mereka dengan lebih cepat dari yang sedang dilakukan saat ini untuk menghindari dampak-dampak terburuk dari perubahan iklim,” ujarnya.

 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...