RI Siapkan Perdagangan Karbon Luar Negeri, Bagaimana Potensinya?
Indonesia membutuhkan anggaran senilai US$ 281 miliar atau Rp 4.347 triliun untuk mencapai net zero emission pada 2060. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah akan segera memberlakukan perdagangan karbon luar negeri.
Sebagai informasi, perdagangan karbon adalah kegiatan jual beli bukti kepemilikan karbon. Hal itu dibuktikan dalam bentuk sertifikat yang dinyatakan dalam satu ton karbon dioksida.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti, mengatakan perdagangan karbon bisa dilakukan di dalam maupun luar negeri. Saat ini, perdagangan karbon dalam negeri telah diimplementasikan melalui bursa karbon Indonesia.
Namun demikian, dia mengatakan, perdagangan karbon domestik masih terbatas permintaannya. Oleh sebab itu, pemerintah tengah menyiapkan aturan untuk perdagangan luar negeri.
“Di dalam perdagangan karbon domestik ini masih terbatas demandnya sementara untuk luar negeri sudah lebih besar demand yang ada saat ini,” ujarnya dikutip dari siaran Youtube Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Rabu (3/1).
Nani berharap Indonesia dapat bersaing di perdagangan karbon luar negeri. Menurutnya sudah banyak negara yang mengimplementasikan perdagangan karbon luar negeri tersebut.
Nani menyampaikan daftar negara yang telah terlebih dahulu memulai perdagangan karbonnya, yaitu Jerman, Saudi Arabia, Abu Dhabi, Brasil, Tiongkok, Hongkong, Malaysia dan Singapura.
“Sesuai arahan Presiden Jokowi kita diminta memanfaatkan momentum ini,” ucap Nani.
Potensi Ekonomi Karbon RI
Nani mengatakan, potensi nilai ekonomi karbon (NEK) Indonesia mencapai Rp 3.000 triliun. Terdapat lima sektor yang berpotensi menjadi sumber NEK tersebut.
Dia mengatakan, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk NEK dari 5 sektor. Menurut Nani, Pengurangan emisi tersebut berasal dari lima sektor yaitu FOLU (forestry and other land use), energi, industri, limbah dan pertanian.
Nani mencontohkan sektor FOLU Net Sink untuk hutan sebesar 125 juta hektar setara dengan pengurangan 300 juta ton CO2. Begitu juga dengan mangrove yang memiliki luas 3,36 juta hektar, kapasitas penyerapan karbonnya bisa delapan kali dari hutan biasa. Sementara gambut Indonesia memiliki luas 7,5 juta hektar dan kemampuan untuk menyerap sebesar 960 juta ton CO2 per tahun
. “Dan ini baru dari sektor FOLU atau biasa disebut NBS (Nature Based Solutions) atau EBA (Ecosytem Based Approaches). Jadi potensi-potensi ini kalau semua kita hitung sebenarnya angkanya sangat besar bisa mencapai Rp 3000 triliun kalau kita bergerak sampai tahun 2030," ujarnya.