Keadilan Iklim Tak Masuk Tema Khusus Debat Cawapres, Padahal RI Rentan

Tia Dwitiani Komalasari
17 Januari 2024, 09:08
Seorang anggota organisasi masyarakat sipil melakukan aksi di depan Kedutaan Besar India di Jakarta, Jumat (8/9/2023). Mereka menuntut pembahasan penghapusan utang untuk negara-negara berkembang dan keadilan iklim dengan percepatan pengembangan energi ter
ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/nym
Seorang anggota organisasi masyarakat sipil melakukan aksi di depan Kedutaan Besar India di Jakarta, Jumat (8/9/2023). Mereka menuntut pembahasan penghapusan utang untuk negara-negara berkembang dan keadilan iklim dengan percepatan pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di India.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Para kandidat calon wakil presiden (cawapres) akan melangsungkan debat yang mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, energi, sumber daya alam, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa pada Minggu (21/1). Namun , isu keadilan iklim belum masuk menjadi tema khusus di dalam debat cawapres nanti.

Keadilan iklim artinya menghubungkan krisis iklim dengan permasalahan sosial, ras, dan lingkungan hidup yang sangat erat kaitannya. Para penggiat iklim pun meminta agar isu keadilan iklim dijadikan tema khusus dalam debat cawapres dan berharap panelis mengajukan pertanyaan mengenai hal itu.

Decmonth Pasaribu dari Extinction Rebellion Indonesia, mengatakan belum masuknya isu keadilan iklim dalam tema khusus debat cawapres menunjukkan adanya persepsi yang menyepelekan urgensi perubahan iklim sebagai sebuah krisis nyata. Padahal krisis iklim ini telah terjadi dan akan terus mengancam kehidupan manusia.

"Krisis iklim hanya dipandang sebagai isu ‘tempelan’ dari isu-isu lainnya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (17/1).

Padahal, dia mengatakan, Presiden-Wakil Presiden terpilih memiliki peran krusial dalam pengambilan kebijakan iklim ke depan. Masyarakat sipil di Indonesia menuntut agar isu keadilan iklim dibahas secara khusus dalam debat keempat Capres dan Cawapres. “

Krisis iklim wajib masuk dalam debat karena merupakan permasalahan lingkungan hidup terbesar yang dihadapi Indonesia. Kaum muda sebagai pemilih terbanyak harus memprioritaskan isu ini dalam Pemilu karena yang akan merasakan dampak terparahnya hingga di masa depan.” ujar Decmonth.

Dechmonth mengatakan, dokumen visi-misi Capres-Cawapres menyebutkan beberapa kata kunci terkait persoalan krisis iklim. Namun, tidak ada peta jalan yang jelas untuk menyelesaikan akar persoalan dari krisis iklim.

"Krisis iklim tidak dapat dijadikan isu ‘kedua’ dan haruslah menjadi pembahasan tersendiri karena telah menyebabkan kehilangan, kerusakan dan kerugian yang tidak sedikit dan mungkin tidak dapat dipulihkan bagi rakyat Indonesia," ujarnya. 

Dampak Besar Krisis Iklim

Dia mengatakan, krisis iklim di Indonesia telah memicu terjadinya cuaca ekstrem dan bencana iklim yang berdampak buruk terhadap kehidupan rakyat Indonesia, termasuk diantaranya gagal panen dan memburuknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2021, kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim adalah yang ke-3 tertinggi di dunia. Ancaman kerentanan tersebut mencakup juga kerusakan ekosistem laut dan hilangnya pulau-pulau kecil serta kampung-kampung pesisir di Indonesia.

Menurut laporan Sintesis IPCC AR6, kegagalan Indonesia mengantisipasi krisis iklim akan berdampak pada kerugian ekonomi nasional hingga 7% pada 2100. Pada akhirnya, dampak dari kegagalan menangani krisis iklim mesti ditanggung oleh kelompok rentan yang selama ini berkontribusi paling kecil atas peningkatan emisi gas rumah kaca.

Torry Kuswardono dari Yayasan PIKUL mengatakan, pengembangan adaptasi saat ini tidak berorientasi pada ekosistem pulau-pulau dan manusia yang tinggal di dalamnya. Sejumlah proyek bernuansa adaptasi seperti reklamasi pantai justru merusak ekosistem asli yang semestinya dipulihkan bahkan menghasilkan penggusuran.

Sementara pembangunan di sektor pangan yang semestinya berorientasi pada mengatasi dampak perubahan iklim yang berbeda-beda pada kepulauan Indonesia, diseragamkan lewat proyek-proyek food-estate. Hal ini justru malah menimbulkan kerentanan baru karena pembukaan lahan yang besar dan monokultur serta berpotensi menimbulkan risiko pada ketahanan dan kedaulatan pangan

"Adaptasi semestinya melindungi dampak perubahan iklim melalui ketahanan ekosistem dan keanekaragaman hayati lokal serta melindungi hak komunitas sambil meningkatkan kapabilitas masyarakat lokal agar mampu beradaptasi,” kata Torry.

Solusi Palsu Tambang Nikel

Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI Eksekutif Nasional, Satrio Manggala, mengatakan krisis iklim juga memperpanjang ketidakadilan yang sudah ada. Dia menekankan pada pentingnya mendesak komitmen para kandidat capres pada debat ke-IV terhadap aksi iklim yang partisipatif dan inklusif, bukan dengan skema palsu mitigasi iklim.

"Menghentikan solusi palsu yang mengatasnamakan proyek mitigasi perubahan iklim seperti ekspansi tambang nikel yang membabat kawasan hutan.

Dalam catatan WALHI, pembukaan kawasan hutan untuk konsesi tambang nikel jumlahnya naik dari kurang lebih 700.000 hektare (Ha) menjadi 1.000.000 Ha pada tahun 2023. Harusnya solusi yang dijalankan untuk mitigasi perubahan iklim berbasis pada kebutuhan rakyat, dilakukan secara partisipasi dan inklusif.




Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...