Enam Isu Transisi Energi yang Perlu Dibahas dalam Debat Cawapres
Calon wakil presiden (cawapres) diminta untuk menghindari solusi-solusi palsu dalam transisi energi di Indonesia dalam debat cawapres di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan, Jakarta (21/1). Pada debat keempat tersebut, cawapres akan mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.
Katadata.co.id meminta pendapat dua pakar energi dan ekonomi yaitu Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dan Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengenai isu yang perlu digarisbawahi dalam debat cawapres akhir pekan ini.
Berikut enam isu transisi energi yang perlu dibahas dalam debat:
1. Transisi energi berkeadilan
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan pemerintah sudah bekomitmen melakukan transisi energi untuk mencapai net zero emission pada 2060. Oleh sebab itu, penting bagi calon presiden dan wakil presiden untuk memiliki strategi bagaimana melaksanakan transisi energi dengan berhasil.
“Artinya tidak hanya transisi energi sesuai upaya tidak melebihi 1,5 derajat sesuai Kesepakatan Paris, tetapi juga memastikan agar ketersediaan pasokan energi tetap aman dan terjangkau bagi masyarakat. Itu yang disebut transisi energi berkeadilan,” kata Fabby kepada Katadata.co.id, Rabu (17/1).
2. Dampak sosial ekonomi dari proses transisi energi
Fabby mengatakan, cawapres harus bisa mengutarakan bagaimana mengatasi dampak sosial ekonomi dari proses transisi energi yang mengakibatkan penurunan konsumsi energi fosil. Apalagi Indonesia merupakan konsumen sekaligus produsen energi fosil, baik batu bara hingga gas.
"Nah bagaimana kita bisa atasi dr penurunan ekspor dan konsumsi fosil krn dampak transisi ekonomi global bisa ke ekonomi," ujarnya.
3. Tingkatkan daya saing transisi energi
Fabby mengatakan, isu ketiga adalah bagaimana meningkatkan daya saing yang cukup besar untuk lakukan transisi energi.
Menurut Fabby, Indonesia membutuhkan investasi transisi energi sebesar US$ 20-35 miliar setahun. "Bagaimana mendapatkan investasi sebesar itu," ujarnya.
4. Reformasi PLN
Sementara itu, Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan agar pemerintah yang baru tidak hanya menekankan besarnya bauran energi terbarukan. Melainkan seberapa banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang akan ditutup pada 2029.
“Jadi bukan diharapkan bauran energi terbarukannya 23% dan ada yang 25% di 2029. Tapi juga disebutkan berapa banyak PLTU yang dipensiunkan jadi disebutkan angkanya,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Kamis (18/1).
Ia mengatakan reformasi PLN harus dilakukan segera mungkin. Pasalnya, isu mengenai PLN sangat krusial. Selain itu, transformasi bisnis PLN tersebut juga diikuti dengan transformasi kebijakan harga energi.
“Misalnya restrukturisasi PLN, terkait jual beli listrik dengan energi terbarukan dan komitmen PLN sendiri untuk melakukan transisi energi,” ujarnya.
5. Pembangkit listrik nuklir
Bhima mengatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden juga memperjelas jalur energi baru, apakah menggunakan nuklir atau tidak. Pasalnya, pembangkit nuklir mempunyai resiko tinggi terhadap lingkungan dan juga keselamatan masyarakat.
“Kita berani tidak meninggalkan nuklir. Karena di negara-negara lain sudah banyak yang mengurangi pembangkit nuklir,” kata Bhima.
Bhima mengatakan, pembangkit nuklir salah satu solusi palsu dalam transisi energi. Salah satu solusi palsu transisi energi lainnya adalah carbon capture storage (CCS) yang hingga kini masih belum terbukti berdampak positif mengurangi emisi.
“Kemudian ada juga misalnya hidrogen tapi masih pakai gas. Nah bagaimana para capres-cawapres bisa menghindari solusi-solusi palsu,” ucapnya.
6. Pemberdayaan masyarakat dalam transisi energi
Bhima menuturkan, poin-poin tersebut belum ada di visi misi para pasangan calon presiden dan wakil presiden. Poin lainnya yang harus diperhatikan terkait pemberdayaan masyarakat dalam transisi energi.
“Bagaimana transisi energi ini bisa berdampak bagi energi yang basisnya adalah komunitas atau desa. Jadi gimana mendorong agar energi tidak menjadi padat modal tapi juga bisa menimbulkan pekerjaan hijau,” ucapnya.