Gibran Gaungkan Hilirisasi, Pakar Nilai Masih Jauh dari Ekonomi Hijau
Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka menekankan pentingnya hilirisasi pada debat yang digelar Minggu (21/1). Gibran menekankan rencana melanjutkan dan memperluas program hilirisasi pemerintah, tidak hanya di sektor pertambangan, tetapi juga pertanian, maritim, dan digital.
Hilirisasi tersebut terutama mempertimbangkan cadangan berlimpah nikel dan timah serta potensi besar energi baru dan terbarukan Indonesia.
“Oleh karena itu, program hilirisasi harus dilanjutkan diperluas cakupannya tidak hanya hilirisasi tambang saja, tapi juga hilirisasi pertanian, sektor maritim dan juga hilirisasi digital,” kata Gibran, Minggu (21/1).
Gibran menegaskan bahwa Indonesia diharapkan tidak lagi mengirim barang mentah guna mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Maka dari itu, ia akan mendorong transisi menuju energi hijau, seperti bioavtur, biodiesel, dan bioetanol.
Ia menuturkan jika agenda hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi menuju energi hijau, ekonomi kreatif, dan UMKM bisa dikawal, maka akan terbuka 19 juta lapangan pekerjaan untuk generasi muda dan kaum perempuan. Dari jumlah tersebut, 5 juta di antaranya merupakan green jobs atau peluang kerja di bidang kelestarian lingkungan.
Hilirisasi Masih Jauh dari Ekonomi Hijau
Menanggapi hal tersebut, Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi Gita Syahrani mengaku awalnya sedikit bingung terkait pernyataan Gibran soal hilirisasi di hasil tambang.
Menurut Gita, pasangan calon atau paslo yang berbicara mengenai pemanfaatan sumber daya alam harus melihat peluang yang lainnya. Dia mencontohkan terkait agroforestri yakni pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek.
“Kita bisa melihat bagaimana agroforestri bisa menghasilkan banyak sekali peluang yang harganya mahal. Dari hutan secara global itu nilainya itu lebih dari US$ 15 miliar,” ujarnya.
Gita menilai paparan Gibran hanya menyoroti hilirisasi industri ekstraktif yang akan sangat jauh dari skema ekonomi hijau. Industri ekstrataktif adalah industri yang bahan bakunya diperoleh langsung dari alam.
“Sampai ke akhir, hilirisasi tetap tersedot perhatiannya lebih ke ekstraktif, kesuburan tanah tidak diperhatikan secara holistik,” ucapnya.
Menurut Gita, hilirisasi tidak sebatas pada pertambangan saja. Pemerintah bisa memanfaatkan potensi-potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
“Ngomongin hilirisasi berarti ini peluang kita untuk tidak lagi bergantung hanya untuk ekstraktif saja,” ujar dia.
Sayangnya debat kali ini, Gita tidak menemukan program-program yang mengarah ke hilirisasi dalam konteks sumber daya alam lebih luas. Padahal hal itu bisa membuat Indonesia lebih baik dalam pembangunan berkelanjutan.
“Banyak banget peluang yang terlewatkan dari hal-hal yang sebetulnya bisa digali untuk memberi tahu ke kita orang-orang yang akan memilih,” kata Gita.
Data Kemiskinan di Daerah Tambang Nikel
Melalui booklet tambang nikel 2020, Kementerian ESDM menghimpun sejumlah provinsi yang memiliki daerah tambang nikel.
Sedikitnya ada tujuh provinsi tempat berdirinya tambang nikel berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikantongi perusahaannya. Di antaranya Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Databoks menemukan hampir seluruh provinsi pertambangan yang disebutkan di atas mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022-Maret 2023, jika dilihat melalui laporan kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023.
Hanya ada dua provinsi dengan penurunan presentase kemiskinan, yakni Papua Barat dan Papua. Persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2022 sebesar 21,43%, turun menjadi 20,49% pada Maret 2023.