RI Butuh Rp 4.505 T untuk Atasi Perubahan Iklim, Dari Mana Dananya?
Climate Policy Initiative (CPI) menilai Indonesia membutuhkan dana sebesar US$ 285 miliar atau sekitar Rp 4.505 triliun (Kurs Rp 15.809) untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) pada 2030. Namun, pemerintah diperkirakan hanya dapat menutupi 34% dari kebutuhan dana untuk mengatasi perubahan iklim tersebut.
“Ini meninggalkan kesenjangan US$ 145 miliar atau sekitar Rp 2.293 triliun dalam membiayai penanganan iklim,” kata Manajer CPI Indonesia, Luthfyana Kartika Larasati, dalam Peluncuran Laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check, di Jakarta, Selasa (30/1).
Berdasarkan data CPI Indonesia, Luthfyana mengatakan, sektor finansial hanya mampu berkontribusi sebesar US$ 41,7 atau Rp 659 triliun) dalam kurun waktu 2015 hingga 2021. Itu berarti, sektor finansial dari lembaga keuangan publik dan privat hanya mampu 15 % berkontribusi untuk climate finance menuju NDC target 2030.
Luthfyana menuturkan, lembaga keuangan publik mencakup pendanaan di tingkat global yang bersumber dari Development Finance Institution (DFI) nasional, bilateral, dan multilateral, dan Climate Funds. Lembaga keuangan publik berkontribusi sekitar USD 20,5 miliar setara RP 324 triliun investasi per tahun yang didominasi oleh pinjaman suku bunga pasar dengan target energi terbarukan.
Sementara itu, pendanaan swasta dapat berasal dari project developers, korporasi, rumah tangga, institusi keuangan komersial (termasuk bank), lembaga investasi, ekuitas swasta, venture capital, dan pembiayaan infrastruktur. Lembaga keuangan swasta hanya mengalokasikan pembiayaan untuk perubahan iklim sebesar 3% atau US$ 20,7 miliar yang setara Rp 327 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pendanaan berkelanjutan adalah kunci untuk menghadapi masalah lingkungan saat ini yaitu perubahan iklim.
“Meski banyak diskusi yang membahas mengenai emisi karbon dan sebagainya, belum ada solusi yang tepat tanpa pembiayaan berkelanjutan,” kata Sri Mulyani Senin (29/1).
Hal itu membuat Indonesia selalu menyuarakan pembiayaan berkelanjutan pada forum internasional, baik dalam ASEAN, G20, maupun IMF-World Bank.
“Saya harap ini menjadi pesan kepada pemegang saham. Keterlibatan bank multilateral, pembangunan bilateral, dan juga filantropi tidak seharusnya mengganggu kegiatan regulasi dan birokrasi,” ucapnya.