Sebagian Besar Pembiayaan Hijau Bank RI Disalurkan ke Kelapa Sawit

Rena Laila Wuri
31 Januari 2024, 16:30
Foto udara perkebunan kelapa sawit di Medang Sari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (19/8). Petani belum menikmati efek positif dari pembebasan pungutan ekspor minyak sawit mentah yang sudah dirasakan para pelaku indust
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Foto udara perkebunan kelapa sawit di Medang Sari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (19/8). Petani belum menikmati efek positif dari pembebasan pungutan ekspor minyak sawit mentah yang sudah dirasakan para pelaku industri kelapa sawit sejak 15 Juli 2022. Harga tandan buah segar atau TBS petani masih di bawah Rp 1.500 per kilogram dan ada pula pabrik yang belum mau menampung hasil panen mereka dengan alasan tangki minyak sawit mentah atau CPO penuh.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia mencatat bank komersial telah menyalurkan green financing atau pembiayaan hijau sebesar US$ 15,9 miliar atau setara Rp 250 triliun dalam kurun waktu 2019-2021. 

Green financing adalah investasi keuangan yang mengalir ke proyek-proyek pembangunan berkelanjutan dan inisiatif, produk lingkungan, serta kebijakan yang mendorong pengembangan ekonomi yang berkelanjutan

Manajer CPI Indonesia, Luthfyana Kartika Larasati mengatakan lembaga komersial Indonesia berinvestasi tinggi di sektor Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU). Sektor AFOLU mendapat pendanaan sebesar 54%, diikuti oleh transportasi rendah karbon 9% dan energi terbarukan 6%.

Dia mengatakan, hampir semua pembiayaan berkelanjutan ke sektor AFOLU tersebut disalurkan pada pertanian kelapa sawit yang sudah bersertifikat ISPO/ RSPO.

“ Data ini dari sampel yang diambil CPI, yaitu sebesar 60% dari total bank komersial yang ada di Indonesia,” kata Luthfyana dalam Peluncuran Laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check, Jakarta, Selasa (30/1).

Luthfyana menuturkan, green financing di Indonesia masih tergolong rendah. Hal itu dipengaruhi adanya perubahan kebijakan dan regulasi dari sektor keuangan oleh OJK dan Kementerian Keuangan.

“Perubahan kebijakan ini harapannya menarik pendanaan dari sektor keuangan lebih besar lagi,” katanya.

Luthfyana mengatakan, bank-bank komersial diharapkan dapat mengatur kembali strateginya agar bisa selaras dengan target pemerintah.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18 Tahun 2023 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan (POJK 18/2023) pada Oktober tahun lalu.

Melansir siaran resmi OJK, penerbitan POJK 18/2023 ini merupakan upaya lembaga tersebut untuk mendorong pengembangan efek bersifat utang berlandaskan keberlanjutan.

OJK mengganti dan memperluas cakupan Efek bersifat utang berwawasan lingkungan yang sebelumnya diatur dalam POJK Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).

Penerbitan POJK 18/2023 ini merupakan tindak lanjut dari roadmap keuangan berkelanjutan untuk mengembangkan industri pasar modal, melalui pengembangan Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS), yang mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan, yaitu menjaga kelestarian lingkungan dan dampak sosial yang berkelanjutan, serta mendorong pengembangan EBUS berlandaskan keberlanjutan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...