SCG Siapkan Semen Rendah Karbon Generasi Kedua, Kurangi 15% Emisi
Produsen semen SCG melalui unit bisnis SCG Cement and Green Solutions mengembangkan semen rendah karbon generasi kedua.
President & CEO SCG, Thammasak Sethaudom, mengatakan pihaknya telah berhasil menciptakan campuran semen yang dikembangkan secara khusus oleh SCG.
“Generasi pertama Semen Rendah Karbon ini kami proyeksikan dapat berperan mengurangi emisi karbon dioksida hingga 10%,” kata Thammasak dalam keterangan tertulisnya dikutip Rabu (27/3).
Ia mengatakan, SCG bersiap untuk meluncurkan generasi kedua Semen Rendah Karbon, yang akan mengurangi emisi karbon tambahan sebesar 5% dari generasi pertama di tahun ini. SCG berkomitmen akan terus mengembangkan generasi-generasi berikutnya dalam upaya menekan emisi karbon dengan kapasitas yang lebih besar.
Thammasak juga menyoroti masalah yang timbul dari akses ke energi bersih. Menurutnya, ini merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam upaya mentransformasi bisnis menuju masyarakat rendah karbon.
Ia mengatakan pemain bisnis harus menemukan sumber energi bersih yang terjangkau, mudah diakses, dan bervariasi berdasarkan daerah untuk memenuhi kebutuhan yang spesifik. Hal itu untuk segera beralih ke proses produksi rendah karbon,
Menurut dia, teknologi memainkan peran penting dalam transisi ke energi bersih. Penting untuk mengintegrasikan teknologi dengan keunggulan setiap area atau wilayah.
Thammasak memberikan contoh negara Thailand. Sebagai negara pertanian, Thailand dapat mengubah limbah pertanian, seperti daun tebu, jerami padi, dan cangkang jagung, menjadi bahan bakar biomassa.
Sumber energi terbarukan ini dapat menggantikan bahan bakar fosil dan membantu mengurangi emisi karbon dioksida sambil mengendalikan biaya secara efektif. Oleh karena itu, SCG mempercepat pemanfaatan penuh bahan bakar biomassa.
"Selain itu, produk pertanian juga dapat dikembangkan menjadi inovasi hijau, seperti bioplastik, yang sangat diminati di pasar global. Langkah ini akan membantu kami memajukan bisnis dan ekonomi bersama masyarakat Net Zero lebih cepat. Organisasi harus berinvestasi dan berkolaborasi dalam pengembangan teknologi dengan semua sektor," ujar dia.
Emisi Metana dari Batu Bara RI Naik
Data yang diolah lembaga riset energi Inggris, Ember Climate, menunjukkan pergerakan emisi metana dari sektor batu bara Indonesia meningkat secara signifikan selama hampir dua dekade terakhir.
Dalam laporannya, persentase perubahan emisi dari 2000 ke 2001 sebesar 20% metana lapisan batu bara atau GBM. Sedekade selanjutnya atau 2010, perubahannya menjadi 257%.
Meski konsisten naik, penurunan perubahan pernah terjadi pada 2013-2014 seperti terlihat pada grafik. Data terakhir pada 2019, persentase perubahan emisinya tembus 700%. Rekor tertinggi selama hampir dua dekade.
Ember menjelaskan, Indonesia melaporkan 128 kt CH4 dari tambang batu bara yang berada di permukaan. Ini termasuk dalam kategori emisi fugitif dari bahan bakar fosil padat (1B1), berdasarkan referensi gas rumah kaca (GRK) UNFCCC.
Emisi fugitif mengacu pada pelepasan gas yang tidak disengaja, seperti metana yang muncul selama kegiatan penambangan.
"Estimasi metana tambang batu bara permukaan yang dilaporkan relatif kecil dibandingkan dengan emisi fugitif dari sub-sektor minyak dan gas sebesar 554 kt CH4," tulis Ember dalam laporannya yang dipublikasikan pada Senin (11/3).
Emisi metana batu bara atau CMM yang dilaporkan telah meningkat dengan cepat. Sejak 2000 lalu, emisi CMM secara rata-rata telah meningkat sebesar 12% per tahun. Ini sekaligus menjadikannya sumber emisi dengan pertumbuhan tercepat di sektor energi.
Ember melihat saat ini emisi CMM memang masih tergolong kecil di sektor energi. Namun seiring dengan penurunan emisi fugitif dari sub-sektor minyak dan gas, CMM tetap patut menjadi perhatian.
"CMM diperkirakan akan menjadi penghasil metana utama di sektor energi bahkan dengan estimasi saat ini yang masih berlaku," kata tim riset.