Peneliti UI: 60% Penyakit yang Diidap Manusia Dipicu oleh Polusi

Tia Dwitiani Komalasari
10 Juli 2024, 16:30
Seorang murid berdiri di dekat jendela yang kotor oleh debu di SD Negeri 05 Marunda, Jakarta, Rabu (13/12/2023). Warga setempat mengeluhkan paparan debu setelah kembali beroperasinya bongkar muat salah satu perusahaan di Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara y
ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/sgd/rwa.
Seorang murid berdiri di dekat jendela yang kotor oleh debu di SD Negeri 05 Marunda, Jakarta, Rabu (13/12/2023). Warga setempat mengeluhkan paparan debu setelah kembali beroperasinya bongkar muat salah satu perusahaan di Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara yang sebelumnya sempat dihentikan oleh Pemprov DKI Jakarta akibat pencemaran polusi dari batubara.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kepala Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Budi Haryanto, polusi bisa berdampak pada kesehatan fisik dan mental baik jangka panjang maupun pendek. Sebanyak 60 persen penyakit yang diidap manusia pada umumnya berasal dari paparan polusi udara

“Bandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi lewat mulut. Itu hanya sekitar 15 persen,“ kata Budi dalam keterangan di Jakarta, Rabu (10/7).

Saat berbincang dengan Katadata Green di Lab Multidisiplin UI, Budi mengatakan dalam jangka pendek penyakit pada orang yang terpapar polusi udara berupa batuk, flu, dan radang tenggorokan. Sementara penyakit jangka panjang berpotensi lebih kronis.

Budi menjabarkan pencemar kimia dapat tersimpan di dalam paru-paru dan organ lain, seperti otak, ginjal, dan jantung, melalui saluran peredaran darah. Timbunan pencemar dapat menyebabkan gangguan jantung, ginjal, kanker paru-paru, bahkan stroke.

Sebabkan Penyakit Mental

Selain penyakit fisik, lanjutnya, polusi udara juga salah satu pemicu penyakit mental. Timbunan pencemar di otak dapat memicu gangguan kecemasan, demensia, dan depresi.

“Ini disebabkan senyawa kimia seperti merkuri, timbel, dan kadmium, serta logam-logam berat berbahaya lainnya yang terkandung, terbawa dalam udara,” ungkapnya.

Paparan polusi udara tidak hanya berpengaruh di luar ruangan atau bangunan, tetapi juga bisa di dalam ruangan. Pencemar yang terbawa masuk ke dalam ruangan tersebut dampaknya dapat mempengaruhi kesehatan, bahkan kinerja orang-orang di dalamnya.

Budi Haryanto mengatakan polusi udara yang terbawa ke dalam ruangan berasal dari pergerakan pekerja dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Dalam perjalanan, pencemar dari emisi kendaraan dan kondisi sekitar dapat menempel di pakaian pekerja dan menyebar di dalam ruangan tertutup.

“Pekerja keluar-masuk dari rumah, naik sepeda motor, kemudian di jalan tertempel pencemar kimia dari kendaraan lain atau virus dan bakteri dari jalan, sehingga saat di kantor pencemar yang menempel di sepatu atau pakaiannya bisa menyebar,” katanya.

Pencemar biologis maupun kimiawi dapat menempel pada pekerja maupun orang yang ada di dalam ruangan tertutup. Ada juga pencemar dari kegiatan perkantoran, seperti penggunaan mesin cetak dan fotokopi, membuat polusi udara di dalam ruangan menjadi lebih parah.

Fenomena gedung perkantoran yang memiliki tingkat konsentrasi polusi udara yang tinggi disebut sick building syndrome. Kondisi ini dapat diperparah oleh ketiadaan ventilasi yang baik.

Sebelumnya publikasi jurnal ilmiah PubMed Central melaporkan polusi udara berkaitan dengan berkurangnya tingkat kebahagiaan dan meningkatkan tingkat gejala depresi. Sementara jurnal Environmental Pollution mencatat kaitan antara paparan jangka panjang pada Particulate Matter (PM) 2,5 terhadap peningkatan risiko depresi.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...