Pembiayaan Bank Mandiri Ditargetkan Capai Net Zero Emission pada 2060
PT Bank Mandiri (Persero) berkomitmen menyalurkan pembiayaan net zero emission pada 2060 atau lebih awal. Perusahaan pelat merah itu juga menargetkan dapat mencapai NZE dalam bidang operasional pada 2030.
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar, perseroan berupaya mencapai target tersebut dengan mendrikan divisi Environmental, Social, and Governance (ESG) pada 2022. Divisi ini berada dibawah kepimpinan Alexandra yang berfungsi sebagai control tower untuk memastikan implementasi aspek ESG ke dalam bisnis dan operasional.
“Kami harapkan ini akan membangun persepsi yang berbeda, khususnya di mata investor, bahwa artinya implementasi ESG di Bank Mandiri itu tidak main-main, kita bener-bener disupervisi langsung dari Wadirut,” ujar Alexandra saat ditemui di kawasan Senayan, Kamis (18/7).
Alexandra mengatakan, Bank Mandiri juga melibatkan nasabah untuk mengimplementasikan ESG. Hal tersebut tergambar dari pengembamgan ESG desk dalam bentuk Corporate Banking.
Dia mengatakan, Corporate Banking memiliki dua fungsi yaitu client center yang menawarkan solusi keuangan berkelanjutan yang inovatif, termasuk green/social loan, sustainability linked loan (SLL), corporate-in-transition financing, dan ESG advisory.
Kedua, yaitu Incubator for Expertise guna membangun keahlian, dengan membentuk pondasi yang kuat terutama bagi para Relationship Manager untuk berinteraksi secara efektif dengan klien.
Tantangan Ekonomi Rendah Karbon
Alexandra mengatakan, berbagai tantangan dihadapi perusahaan untuk mendukung target Indonesia menuju ekonomi rendah karbon, khususnya dalam mempromosikan investasi iklim.
Tantangan terbesar adalah menyeimbangkan antara peluang dan kepatuhan regulasi dalam pembiayaan iklim, di mana investasi iklim seringkali dianggap mahal meskipun manfaat jangka panjangnya nyata.
"Tidak semua pemangku kepentingan menganggap hal tersebut sebagai prioritas, karena kepentingan bisnis tetap menjadi perhatian utama bagi pelaku industri dan juga bank komersial. Akibatnya, saat ini inisiatif iklim di Indonesia sebagian besar masih bersifat sukarela," ujar Alexandra saat ditemui di kawasan Senayan, Kamis (18/7).
Alexandra mengatakan, salah satu dukungan yang dibutuhkan adalah kebijakan kuat yang dapat menjadi pemicu utama untuk mendorong pembiayaan iklim.
Penting untuk membuat perihal ini lebih menarik bagi semua pihak melalui mekanisme insentif dan pengurangan biaya untuk mendorong semua pihak bergerak menuju praktik bisnis yang lebih hijau, seperti insentif proyek hijau atau pajak karbon.
Menurutnya, salah satu kuncinya adalah mekanisme pajak karbon dapat menjadi dukungan untuk meningkatkan permintaan pembiayaan hijau. Mekanisme ini memberikan konsekuensi finansial tertentu bagi bisnis yang menghasilkan emisi tinggi dan insentif bagi bisnis yang beralih menuju praktik berkelanjutan.
"Sinergi antara penetapan pajak karbon dan pembiayaan hijau memainkan peran penting untuk mempercepat transisi global menuju ekonomi rendah karbon," ujarnya.
Ia mencontohkan, seperti yang dilakukan oleh Singapura yang berhasil memperkenalkan pajak karbon pada tahun 2019 dan memiliki berbagai kebijakan serta insentif terkait Green Investment.
Hasilnya, Singapura menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik, dengan memiliki porsi investasi hijau yang relatif besar di Asia Tenggara atau lebih dari 2096 total investasi hijau di antara tahun 2020 sampai dengan 2023.