Tren Pembukaan Lahan Sawit di Indonesia Berpotensi Tingkatkan Emisi Karbon
Lembaga nirlaba yang bergerak di bidang penanggunalangan krisis iklim di Indonesia, Madani Berkelanjutan, menilai budaya perkebunan kelapa sawit di Indonesia berpotensi terus meningkatkan produksi emisi gas rumah kaca (GRK). Pasalnya, industri sawit di Indonesia cenderung memilih untuk memperluas lahan sawit dibandingkan meningkatkan produktivitas.
Deputy Director Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indarto, mengatakan industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia lebih banyak melakukan ekstensifikasi atau perluasan lahan dalam meningkatkan produksi. Di sisi lain, produktivitas sawit Indonesia sangat rendah.
"Produktivitas Indonesia itu rendah banget 3 kilogram (kg) CPO per hektare per tahun, padahal targetnya itu 7 kg," ujar Giorgio dalam agend diskusi "Titik Nadir Batas Atas Sawit", di Jakarta, Selasa (1/10).
Giorgio mengatakan, langkah industri kelapa sawit di Indonesia untuk terus ekstensifikasi lahan menciptakan emisi GRK yang tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun Madani berkelanjutan pada 2022, setiap hektare hutan alam dapat menyimpan karbon sebanyak 254 ton. Deforestasi 56 ribu hektare perkebunan sawit pada 2022, setara dengan melepas 14,2 juta ton karbon.
Dia mengatakan, budaya ekstensifikasi di industri kelapa sawit juga menyebabkan terjadinya konflik perebutan lahan. Madani Berkelanjutan mencatat terdapat 88 konflik perebutan lahan sawit per 2023.
Berdasarkan data yang dihimpun Madani Berkelanjutan, luas tutupan sawit yang berada di dalam kawasan hutan sampai dengan 2023 tercatat seluar 3,2 juta hektare. Sedangkan sawit yang berada di dalam lahan tutupan gambut hingga 2023 tercatat sebesar 3,9 juta hektare, dan perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan konsesi lain sebesar 12 juta hektare.