LSM Sebut RI sudah Lampaui Kuota Deforestasi Meski Tanpa Food Estate Baru
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyebut program lumbung pangan nasional berpotensi merusak ekosistem hutan alam yang seharusnya dijaga. Meski tidak ada food estate baru, Indonesia disebut sudah melampaui kuota deforestasi.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan food estate sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berpotensi menjadi karpet merah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan. Padahal, Indonesia memiliki komitmen FOLU Net Sink 2030, dengan target pengurangan laju deforestasi 4,22 juta hektare hingga 2030.
Nadia mengutip dokumen Rencana Operasional Indonesia's FOKU Net Sink 2030, di mana deforestasi Indonesia hingga 2019 sudah mencapai 4,8 juta hektare. Ini berarti kuota deforestasi Indonesia sudah terlampaui atau minus 577 ribu hektare. Pembukaan food estate mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia kepada dunia.
"Proses pemulihan ekosistem melalui restorasi dan rehabilitasi lahan membutuhkan waktu sangat lama dan seringkali tidak mampu mengembalikan ekosistem ke kondisi semula, seperti ekosistem gambut dan mangrove," kata Nadia dalam keterangan pers, Rabu (13/11).
Nadia, yang turut hadir di ajang KTT Iklim PBB atau COP29 di Baku, Azerbaijan, menanggapi pernyataan Ketua Delegasi Indonesia Hashim S. Djojohadikusumo di hadapan Plenary COP29. Pada saat itu, Hashim menyebut program food estate terus berjalan. Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah berkunjung ke lokasi food estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, yang diplot seluas 2 juta hektare (ha) sebagai fokus garapan food estate pemerintah.
Dalam pidatonya, Hashim beralasan program ketahanan pangan sangat diperlukan untuk menjaga kemandirian Indonesia dari guncangan eksternal. Ia mencontohkan pandemi Covid-19 dan Perang Ukraina-Rusia yang menyebabkan melonjaknya harga pangan dan harga pupuk, beberapa waktu lalu.
Hashim menyebutkan dunia internasional telah salah paham dengan program lumbung pangan yang disebut merusak hutan. "Indonesia akan menciptakan kembali, merevitalisasi, meremajakan hutan yang terdegradasi (akibat program food estate). Ini sudah merupakan program yang akan mengurangi masalah apa pun yang mungkin timbul," ujar Hashim.
Food Estate Timbulkan Konflik
Cindy Julianty dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menilai program food estate gagal dalam menanggulangi isu ketahanan pangan dan banyak menimbulkan konflik. Salah satunya dengan masyarakat adat. "Fakta empirik yang terjadi di Merauke saat ini ada lebih dari 2 juta hektare hutan yang merupakan bagian dari wilayah adat di masyarakat Malid, Maklew, Khimaima, dan Yei yang dibabat habis untuk urusan food estate," ujar Cindy.
Padahal, hutan adalah sumber pangan alami masyarakat adat dan bagian dari tempat berkembangnya keanekaragaman hayati. Cindy juga menyebutkan perlunya masyarakat mencermati target restorasi hutan 12,7 ha pada pemerintahan Prabowo Subianto.
"Apakah angka ini akan tumpang tindih dengan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat atau tidak? Apakah akan dilakukan melalui proses konsultasi dan FPIC, dan apakah masyarakat adat atau lokal menjadi penerima manfaat dari agenda restorasi ini?" kata Cindy.
Kemitraan FCLP dan Pendanaan Iklim
Nadia mempertanyakan mengapa Indonesia belum bergabung dalam kemitraan Forest and Climate Leaders' Partnership (FCLP). FCLP adalah inisiatif untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan pada 2030.
"Padahal dalam pernyataan-pernyataan para kepala dan pejabat negara dalam panel tersebut, beberapa kali menyebutkan Indonesia sebagai champion dalam inisiatif FOLU Net Sink 2030," kata Nadia.
Jika Indonesia bergabung dalam FCLP, Indonesia dapat memastikan mobilisasi pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dan pemilik hutan tropis. Alhasil, Indonesia bisa mencapai target iklim global yang tercantum dalam Perjanjian Paris.
Eka Melisa dari Kemitraan menyayangkan pernyataan dari Hashim dalam Plenary COP29 pada 12 November itu tidak mengedepankan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki kerentanan cukup tinggi terhadap perubahan iklim. Apalagi, tahun ini merupakan COP Finance, seharusnya akses dan penyaluran pendanaan iklim yang tepat sasaran menjadi tujuan Indonesia. Termasuk, fokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah nasional maupun lokal pada ketiga isu penting ketahanan iklim. Hal-hal ini perlu menjadi salah satu prioritas Indonesia.
Sementara itu, Iqbal Damanik dari Greenpeace menilai Indonesia tidak memimpin dan tidak memiliki target dan pesan yang jelas terkait pendanaan di COP29 Baku ini. "Sangat disayangkan pada COP29 Baku yang digadang-gadang sebagai COP yang fokus pada pendanaan ini, Indonesia belum melihat pentingnya memainkan peran signifikan dalam mengarahkan agar pendanaan iklim tepat sasaran," kata Iqbal.
Ia menambahkan, Indonesia seharusnya mampu menjadi corong bagi negara-negara yang rentan krisis. "Indonesia harus mengambil peran di global, agar memiliki kesempatan dalam meraih pendanan iklim yang lebih besar, seperti pendanaan untuk aksi mitigasi, adaptasi, dan loss and damage," ujarnya.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: