Negara-negara Berkembang: Pendanaan Iklim US$300 Miliar Tidak Cukup
Negara-negara yang hadir dalam pertemuan COP29 di Baku mengadopsi target pendanaan iklim global sebesar US$300 miliar (Rp 4.783 triliun) untuk membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim. Kesepakatan ini dikecam oleh negara-negara berkembang dan negara miskin karena dana tersebut dinilai tidak mencukupi.
Konferensi Tingkat Tinggi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP29 di Baku, Azerbaijan seharusnya berakhir pada Jumat (22/11). Namun, konferensi tersebut diperpanjang karena alotnya pembahasan mengenai pendanaan iklim.
Kesepakatan yang dicapai dalam waktu lembur pada konferensi dua minggu di ibu kota Azerbaijan ini dimaksudkan untuk memberikan momentum bagi upaya-upaya internasional untuk mengekang pemanasan global pada tahun yang ditakdirkan sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Namun, hal ini justru membuat negara-negara berkembang frustrasi.
“Dengan menyesal saya harus mengatakan dokumen ini tidak lebih dari sebuah ilusi optik,” ujar perwakilan delegasi India, Chandni Raina, dalam sesi pleno penutupan KTT beberapa menit setelah kesepakatan tersebut disahkan. “Menurut kami, hal ini tidak akan menjawab tantangan besar yang kita hadapi,” kata Raina seperti dikutip Reuters, Sabtu (23/11).
Kepala badan iklim PBB Simon Steill mengakui adanya negosiasi yang melelahkan selama dua minggu yang berujung pada kesepakatan tersebut. Namun, ia memuji hasil kesepakatan tersebut sebagai sebuah polis asuransi bagi umat manusia.
“Ini merupakan perjalanan yang sulit, tetapi kami telah mencapai kesepakatan. Kesepakatan ini akan membuat ledakan energi bersih terus berkembang dan melindungi miliaran nyawa,” ujar Steill.
Ia memberikan catatan, seperti halnya polis asuransi lainnya, kesepakatan ini hanya akan berhasil jika premi dibayar penuh dan tepat waktu.
Perjanjian ini menggantikan komitmen negara-negara kaya sebelumnya untuk menyediakan dana sebesar US$100 miliar (Rp 1.594 triliun) per tahun untuk pendanaan iklim. Ini merupakan sebuah target yang terlambat dicapai dua tahun, yaitu pada tahun 2022, dan akan berakhir pada tahun 2025.
KTT ini menjadi pusat perdebatan mengenai tanggung jawab keuangan negara-negara industri untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara lain atas kerusakan yang semakin parah akibat perubahan iklim.
Hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan antara pemerintah-pemerintah kaya yang dibatasi oleh anggaran domestik yang ketat dan negara-negara berkembang yang terguncang akibat badai, banjir, dan kekeringan.
Berbagai negara mencari pendanaan untuk mewujudkan tujuan Perjanjian Paris dalam membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Di luar itu, dampak iklim yang dahsyat dapat terjadi.
Laporan Kesenjangan Emisi PBB pada 2024 menyebut dunia saat ini berada di jalur yang tepat untuk mencapai pemanasan sebesar 3,1C pada akhir abad ini. Hal ini disebabkan oleh emisi gas rumah kaca global dan penggunaan bahan bakar fosil yang terus meningkat.
Siapa Saja yang Harus Membayar Pendanaan Iklim?
Ada sekitar dua lusin negara industri, termasuk Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan Kanada yang wajib membayar pendanaan iklim berdasarkan daftar yang diputuskan dalam perundingan iklim PBB pada tahun 1992.
Pemerintah-pemerintah Eropa telah meminta negara-negara lain untuk ikut membayar, termasuk Cina, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Negara-negara Teluk yang kaya akan minyak juga diminta berkontribusi. Kesepakatan ini mendorong negara-negara berkembang untuk memberikan kontribusi, tetapi tidak mewajibkan mereka.
Kesepakatan ini juga mencakup tujuan yang lebih luas untuk mengumpulkan dana sebesar US$1,3 triliun untuk pendanaan iklim setiap tahunnya pada tahun 2035. Pendanaan ini mencakup pendanaan dari semua sumber publik dan swasta dan menurut para ekonom sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi pemanasan global.
Negara-negara juga menyepakati aturan pasar global untuk membeli dan menjual kredit karbon. Aturan ini dapat memobilisasi miliaran dolar lebih banyak ke dalam proyek-proyek baru untuk membantu memerangi pemanasan global, mulai dari reboisasi hingga penyebaran teknologi energi bersih.
Keraguan terhadap Peran AS pasca Donald Trump Terpilih
Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat bulan ini telah menimbulkan keraguan di antara para negosiator bahwa negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini akan memberikan kontribusi terhadap tujuan pendanaan iklim yang telah disepakati di Baku. Trump, seorang anggota Partai Republik yang akan mulai menjabat pada bulan Januari, menyebut perubahan iklim sebagai sebuah tipuan dan berjanji untuk mengeluarkan AS dari kerja sama iklim internasional.
Pemerintah-pemerintah Barat telah melihat pemanasan global turun dari daftar prioritas nasional di tengah-tengah meningkatnya ketegangan geopolitik. Termasuk, perang Rusia di Ukraina dan meluasnya konflik di Timur Tengah, serta meningkatnya inflasi.
Pertikaian mengenai pendanaan untuk negara-negara berkembang terjadi di tahun yang menurut para ilmuwan akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Bencana iklim semakin meningkat setelah panas yang ekstrem tersebut. Banjir meluas dan menewaskan ribuan orang di seluruh Afrika, tanah longsor yang mematikan yang mengubur desa-desa di Asia, dan kekeringan di Amerika Selatan yang membuat sungai-sungai menyusut.
Negara-negara maju pun tak luput dari dampaknya. Hujan deras memicu banjir di Valencia, Spanyol, bulan lalu yang menewaskan lebih dari 200 orang. Amerika Serikat sejauh ini telah mencatat 24 bencana dengan kerugian US$24 miliar (Rp 382,6 triliun).
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: