Pemerintah Arahkan Kebijakan Indonesia ke Energi Hijau

Ringkasan
- Peserta magang dianggap sebagai subjek pajak di Indonesia sesuai dengan syarat objektif dan subjektif yang ditetapkan, dimana mereka harus membayar PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 untuk Warga Negara Asing (WNA) jika memiliki penghasilan melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun.
- Tarif PPh 21 untuk pekerja magang menggunakan tarif pajak progresif sesuai UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dengan tarif mulai dari 5% hingga 35% tergantung pada jumlah penghasilan. Pekerja magang tanpa NPWP akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi sebesar 20% dari tarif normal.
- Ada kondisi tertentu dimana pekerja magang dapat dibebaskan dari pemotongan PPh 21, seperti ketika penghasilan tidak melebihi batas tertentu per bulan atau per hari. Jika penghasilan melebihi batas tertentu, pemotongan PPh 21 dihitung berdasarkan ketentuan yang berlaku, yang bisa berupa pemotongan 5% atau pengenaan tarif progresif sesuai dengan penghasilan kumulatif.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memastikan kebijakan energi yang ada di Indonesia saat ini seluruhnya diarahkan untuk memaksimalkan potensi energi baru terbarukan (EBT).
Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Harris, mengatakan regulasi dan kebijakan tentang energi di Indonesia saat ini mengarah ke pengembangan EBT.
“Kebijakan Energi Nasional, kemudian RUU, energi baru, energi terbarukan, kemudian sekarang ini ada RUKN juga yang sudah disepakati, lalu ada, nanti akan ada RUPTL, semua itu diarahkan menuju kepada memaksimalkan green, energinya,” ujar Harris dalam Strategic Forum Katadata Green bertajuk "Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Nasional", di Jakarta, Rabu (12/2).
Harris mengatakan, selain dari sisi penawaran pemerintah Indonesia juga mendorong dari sisi demand atau permintaan terhadap penggunaan energi hijau. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong berkurangnya penggunaan energi fosil. Salah satunya dilakukan dengan melaksanakan program konversi kendaraan berbasis fosil ke kendaraan berbasis tenaga listrik.
“Bukan hanya kendaraan, tetapi juga misalnya di rumah tangga, itu juga diupayakan untuk memaksimalkan menggunakan listrik,” ujarnya.
Ia mengatakan, kebijakan tersebut dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak (BBM). Harris melanjutkan, regulasi yang sekarang dibangun dituujukan untuk mengakomodir hal tersebut.
“Nanti di dalamnya bagaimana demand-demand yang terkait dengan EV juga diatur disana. Jadi, secara prioritas itu sudah masuk ke arah mendorong agar EVini bisa menjadi semakin maju di negeri kita,” ungkapnya.