Konflik dengan Masyarakat Adat Bayangi Rencana 20 Juta Ha Hutan Cadangan Pangan


Forest Watch Indonesia (FWI) menilai kebijakan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang akan menyiapkan 20 juta hektare hutan cadangan pangan dan energi dapat menyebabkan konflik di masyarakat. Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, Anggi Prayoga, mengatakan penyiapan lahan 20 juta hektare tanpa melibatkan beberapa unsur di masyarakat akan menimbulkan interpretasi yang keliru.
Ia mengatakan, penentuan lahan tersebut akan membuat operasional di lapangan tidak akan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Operasional di lapangan tidak akan berjalan mulus sesuai rencana, timbul konflik, penolakan, ketidaksesuaian dengan ekspektasi, kesuburan tanah, dan target produksi, karena asal usul lahannya tidak jelas,” ujar Anggi saat dikonfirmasi Katadata, Kamis (27/2).
Anggi mengatakan lahan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan milik negara, kemungkinan besar ada beberapa yang sedang dikelola oleh masyarakat. Dengan demikian, kawasan hutan tersebut bukanlah lahan atau ruang kosong yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan proyek pemerintah.
Ia mengatakan banyak masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan hidup pada ekosistem hutan yang ditunjuk sebagai lokasi untuk program swasembada pangan dan energi pemerintah.
“Jika hutannya dirusak, dampaknya bisa membawa bencana pangan, justru lebih buruk daripada cita-cita pangan yang masih mimpi,” ujarnya..
Pemerintah Siapkan 20 Juta Hektare Hutan Cadangan Energi dan Pangan
Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan memanfaatkan 20 juta lahan hutan cadangan sebagai sumber ketahanan pangan, energi dan air. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan luasan lahan tersebut bakal ditanami sejumlah tanaman pangan dan energi, seperti padi gogo untuk alternatif sumber pangan dan pohon aren sebagai sumber bahan baku bioetanol.
Adapun padi gogo merupakan jenis padi yang dapat ditanam di lahan kering tanpa membutuhkan genangan air seperti halnya padi sawah.
Raja Juli mengatakan penyediaan puluhan juta lahan hutan cadangan itu merupakan sarana untuk mendukung program Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kami sudah mengidentifikasi dengan menteri pertanian, ada sekitar 20 juta hektare yang dapat dipergunakan untuk cadangan pangan energi dan air tersebut,” kata Raja Juli di Istana Merdeka Jakarta pada Senin (30/12).
Berdasarkan data Kemenhut yang diterima Katadata, Jumat (21/2), Provinsi Kalimantan Tengah menjadi penyumbang lahan terbesar dengan total luasan 2,39 juta hektare, di peringkat kedua ditempati Kalimantan Barat dengan total luasan 2,35 juta hektare, dan Papua Selatan di 2,02 juta hektare.
Berdasarkan data tersebut, analisis potensi hutan untuk pangan dan energi di Indonesia diperkirakan seluas 20,6 juta hektar. Area tersebut yang terdiri dari hutan lindung 975 ribu hektar, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 7,3 juta hektare, hutan produksi (HP) seluas 8,5 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 3,83 juta hektare.
Penetapan atau identifikasi wilayah tersebut dilakukan dengan memenuhi beberapa kriteria seperti penutupan lahan non hutan, fungsi HL, HP, HPT, HPK, elevansi dibawah seribu meter dibawah permukaan laut, dan kecukupan luas Kawasan hutan.
Selain itu, penetapan juga berdasarkan dengan daya dukung dan daya tampung, perizinan dan masyarakat, bukan sawit nasional, bukan di lahan gambut, dan bukan lahan terbangun.
Beberapa aturan yang menjadi dasar penetapan Kawasan tersebut adalah Undang-Undang (UU) nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur penyelenggaraan kehutanan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dan UU nomor 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Selain UU, penetapan kawasan tersebut dilakukan berlandaskan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Pengelolaan Perhutanan Sosial, Perlindungan Hutan, Pengawasan, dan Sanksi Administratif.
Peraturan lainya yang menjadi landasan adalah PP nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.