Sepanjang 2024, 2,8 Juta Hektare Lahan Adat Dirampas

Image title
28 Mei 2025, 13:55
lahan, masyarakat adat
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Warga Suku Baduy Dalam turut mengikuti tradisi Ngaseuk atau musim tanam di Desa Bojong Menteng, Lebak, Banten, Senin (1/11/2021). Sebanyak 600 orang warga suku baduy mengikuti Tradisi Ngaseuk yang merupakan tradisi tahunan warga Suku Baduy menanam padi huma dan palawija untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pendapatan ekonomi.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat meminta pemerintah untuk segera menerbitkan Undang-Undang Masyarakat adat untuk memberikan kepastian hukum atas perlindungan kepada masyarakat adat beserta hak dan wilayahnya. Berdasarkan temuan aliansi masyarakat adat Nusantara (AMAN), sepanjang tahun 2024 seluas 2,8 juta hektar wilayah atau lahan adat yang dirampas.

Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan catatan tahun 2023 seluas 2,5 juta hektar. Sepanjang tahun 2024, setidaknya 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di 140 komunitas telah terjadi.

“Situasi ini juga menjadi bukti yang tidak terbantahkan dari operasionalisasi undang-undang bermasalah yang diterbitkan oleh pemerintah, seperti UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, UU Minerba, UU Ibu Kota Negara dan UU KSDAHE,” ujar Perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Siti Rakhma Mary dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (28/5).

Siti mengatakan panjangnya posedur pengakuan wilayah adat merupakan fakta yang harus dihadapi yang membuat masyarakat adat dihadapkan pada konflik agraria yang tidak berkesudahan, akibatnya masyarakat adat mengalami ancaman, intimidasi dan terancam mengalami kriminalisasi.

Berdasarkan Data Badan Registrasi Wilayah Adat atau BRWA (2023) sekurang-kurangnya terdapat 26,9 juta hektar wilayah adat dari seluruh nusantara yang telah teregistrasi di BRWA dan dari jumlah tersebut hanya 14% yang telah mendapatkan status pengakuan. Selain itu, Pemerintah melalui Kementerian LHK baru menetapkan hutan adat di 123 komunitas dengan total luas mencapai 221.648 ha.

Kondisi ini tidak sebanding dengan cepatnya laju penerbitan izin bagi korporasi yang menjadi melegitimasi perampasan wilayah adat dan pengrusakan fungsi ekosistem penting yang menunjang kehidupan masyarakat adat.

“Sebagai salah satu anggota tim yang membuat anotasi putusan MK 35 dengan imajinasi bahwa persoalan konflik agraria, pengakuan dan perlindungan hutan adat sebagai bagian hak-hak masyarakat adat akan selesai, namun ternyata itu hanya mimpi. Pasca putusan MK 35, nyaris tidak ada perubahan apapun di lapangan. Konflik agraria yg tetap eksis dan masyarakat tetap terancam baik oleh intimidasi maupun kriminalisasi,” katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...