Akademisi dan LSM Minta Revisi UU Kehutanan Tinggalkan Paradigma Kolonial

Hari Widowati
11 Juli 2025, 17:32
kehutanan, hutan, UU Kehutanan
ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/agr
Petugas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) mendata anggrek dengan nama latin Coelogyne Gibbosa di taman anggrek Ranu Darungan, Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, Selasa (8/7/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Para akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) meminta pembahasan Revisi Undang-Undang Kehutanan meninggalkan paradigma kolonial yang memandang hutan sebagai komoditas negara semata. UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dinilai tidak lagi relevan menghadapi kompleksitas dan konflik kehutanan saat ini.

Difa Shafira, Peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), mengatakan ada sejumlah temuan masyarakat sipil atas materi revisi UU Kehutanan yang digulirkan Badan Keahlian DPR dan Panja RUU Kehutanan Komisi IV.

Ia menyebut pokok materi tersebut tidak menjawab masalah substansial dan masih mempertahankan pendekatan negara-sentris. Deforestasi hutan alam seharusnya dapat dicegah dengan memperkuat sistem pemantauan dan penegakan hukum.

UU Kehutanan harus menjadi safeguard atas kekayaan sumber daya alam Indonesia. Fungsi hutan seharusnya hanya mengatur fungsi hutan pokok dan fungsi hutan cadangan untuk dipulihkan.

"Ini penting karena Indonesia punya komitmen di tingkat global untuk menekan laju deforestasi, yakni National Determined Contribution," ujar Difa, dalam keterangan tertulis, Jumat (11/7).

Dr. Yance Arizona, akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya perubahan paradigma dekolonisasi hutan yang mensyaratkan perubahan cara pandang dari negara sebagai pengelola utama menjadi rakyat sebagai pilar utama.

Menurutnya, rule of law kehutanan harus berlandaskan keadilan sosial dan ekologis, bukan sekadar legalisasi kontrol negara. UU Kehutanan dinilai bertentangan dengan semangat keadilan dalam UU Pokok Agraria (UUPA).

"UUPA secara tegas membongkar asas domein verklaring—doktrin kolonial yang mengklaim tanah tak berpemilik sebagai milik negara," kata Yance.

UUPA juga menawarkan pandangan holistik yang mencakup tanah, air, ruang angkasa, dan isi bumi, serta menghubungkan manusia dengan ruang hidupnya. Sebaliknya, UUK memisahkan masyarakat adat dari tanahnya melalui pengaturan status hak.

Sementara itu, Kiagus M. Iqbal dari Sajogyo Institute mengatakan UUPA tidak melihat alam sebagai sekadar sumber daya teknokratis, tetapi sebagai Sumber-Sumber Agraria (SSA) yang merepresentasikan hubungan sosial, ekologis, dan kultural antara manusia dan lingkungan. UUPA tidak hanya mengatur soal kepemilikan, tapi juga relasi antarmanusia dalam pengelolaan SSA.

Ia mempertanyakan kenapa asas domein verklaring masih digunakan dalam UU Kehutanan. “Asas ini adalah cara kolonial merampas tanah rakyat. Bagaimana mungkin tetap digunakan di era kemerdekaan?” ujarnya

Erwin Dwi Kristianto dari HuMa turut mengkritik konsep hak menguasai negara, yang justru melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat. “Konsep ini memperkuat asas kolonial. Padahal, banyak wilayah yang tidak pernah dikuasai raja maupun negara,” kata Erwin.

Menurutnya, UU Kehutanan seharusnya tidak mengatur penguasaan negara atas hutan, tapi fungsi ekologis hutan yang harus dilindungi. Bukan justru hutan untuk dibagi-bagi dan dieksploitasi.

Momentum untuk Mengubah Paradigma Hukum Menuju Keadilan Ekologis

Mohamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan dari Yayasan Kehati, menyatakan revisi UU Kehutanan menjadi momentum penting untuk mengubah paradigma hukum menuju keadilan ekologis. Ia menyebut hutan harus dipandang sebagai bagian penting dari sistem penyangga kehidupan, bukan sekadar objek produksi.

Pendekatan hukum yang baru harus mengakui peran masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem. Mereka memiliki pengetahuan dan praktik hidup yang lebih selaras dengan alam. "Mengintegrasikan ecological law dalam revisi UU Kehutanan akan memastikan hutan dikelola untuk keberlanjutan, bukan untuk pertumbuhan jangka pendek,” ujar Burhan.

Sejauh ini masyarakat adat masih sangat sulit terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait wilayahnya sebagai ruang hidup. “Harapannya, Revisi UU Kehutanan harus menjadi instrumen membongkar kekuasaan tertutup tersebut dan membuka ruang partisipasi aktif bagi masyarakat adat dalam tata kelola hutan,” kata Burhan.

Ia juga menyoroti tata kelola sektor kehutanan menghadapi masalah serius dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Praktik perizinan yang koruptif, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan, serta absennya mekanisme partisipatif yang bermakna dalam proses pengambilan keputusan menjadi persoalan laten yang memperburuk kondisi hutan Indonesia.

“Kasus-kasus tumpang tindih izin, penerbitan izin di kawasan rawan bencana, hingga lemahnya pengawasan atas korporasi besar menunjukkan bahwa tata kelola sektor kehutanan belum berpihak pada keberlanjutan dan keadilan,” tutupnya.

Dr. Martua T. Sirait dari Samdhana Institute mempertanyakan bagaimana semangat dekolonisasi bisa dijalankan dalam UU Kehutanan. Ia menekankan pentingnya perubahan paradigma yang tidak sekadar menjadi tambal sulam.

UU Kehutanan baru harus secara eksplisit menjabarkan asas-asas yang mendasari, termasuk jaminan keterbukaan informasi. Terutama, dalam proses penetapan kawasan hutan—siapa yang menandatangani Berita Acara Tata Batas, dan bagaimana masyarakat bisa mengakses dokumen tersebut.

Perencanaan Hutan Menjadi Kunci

Martua mengatakan perencanaan hutan adalah kunci. Selama ini, penjabaran UU Kehutanan hanya menggunakan pendekatan teknis administratif, mengabaikan aspek sosial, yang jelas di amanatkan dalam UU Kehutanan.

Meski proses pengukuhan kawasan hutan selesai secara teknis administratif, kawasan hutan ini seringkali tidak mendapat legitimasi sosial dari masyarakat sekitar. Hal ini tidak memberikan dasar bagi pengelolaan hutan yang adil dan lestari.

O.Z.S. Tihurua dari KORA Maluku mengungkapkan masyarakat kaget ketika tapal batas kawasan hutan dipasang pada 2020–2022 di rumah-rumah, kebun-kebun, dan hutan-hutan. Padahal selama sosialisasi, masyarakat hanya diajak bicara soal taman nasional, bukan status keseluruhan kawasan.

Ia menambahkan, penunjukan kawasan pada hutan lindung dan produksi sudah dilakukan serentak pada era 1980–1990-an. Namun pada 2020-an, masyarakat baru sadar bahwa hutan yang telah lama mereka kelola masuk ke kawasan hutan negara. "Dan sekarang mereka harus kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan," ujar Tihurua.

Bagi masyarakat adat di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua, UU Kehutanan merupakan ancaman atas hutan, sumber-sumber pangan dan air masyarakat adat. Prof. Agustinus Kastanya dari Universitas Pattimura menjelaskan, UU Kehutanan membuka jalan eksploitasi bagi korporasi-korporasi, baik itu konsesi kehutanan, pertambangan, bahkan perkebunan.

Padahal, masyarakat Indonesia Timur hidup di kepulauan, yang memiliki daerah aliran sungai yang pendek-pendek dan sempit. Karakter dan topografinya sangat berbeda dengan pulau besar.

“Mengelola pulau kecil harus penuh dengan kehati-hatian dan tidak bisa disamakan dengan pulau besar di tengah dampak besar perubahan iklim, dan kehilangan biodiversitas," kata Agustinus.

Juru Kampanye dari Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, mengatakan UU Kehutanan harus berubah secara total menjadi UU Kehutanan yang baru karena telah memenuhi seluruh aspek sosiologis, filosofis, dan yuridis. UU Kehutanan yang baru merupakan jawaban komprehensif atas persoalan tata kelola hutan saat ini.

"DPR dan pemerintah harus terbuka atas segala jenis kritik terhadap bisnis kawasan hutan yang nyatanya tidak berkontribusi banyak terhadap Produk Domestik Bruto. Sub Sektor Kehutanan menyumbang paling kecil meski dampaknya paling luas," tuturnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...