Indonesia Susun Proposal Pendanaan Tahap Kedua untuk GCF REDD+
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Republik Indonesia bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) mulai menyusun konsep dan proposal pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) REDD+ Result-Based Payment (RBP) tahap kedua.
Acara ini dihadiri langsung oleh Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, para pejabat tinggi Kementerian Kehutanan, perwakilan UNDP, perwakilan Kementerian Keuangan selaku National Designated Authority (NDA) GCF, mitra pembangunan, serta pemangku kepentingan lintas sektor.
Dalam pidatonya, Menhut Raja Juli menegaskan ia akan terus berkomitmen menjaga kelestarian hutan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan.
"Saya memang diamanahkan untuk menjadi salah satu punggawa dalam REDD+ ini, akan terus memiliki komitmen yang tangguh, agar apa yang menjadi tujuan utama kita untuk menjaga hutan dan menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dapat kita laksanakan," ujar Raja Juli, dalam keterangan tertulis.
Ia mengatakan, Program REDD+ merupakan salah satu program inti yang berada di bawah koordinasi Kementerian Kehutanan. Mandat program ini meliputi konservasi sumber daya alam dan ekowisata, perhutanan sosial, rehabilitasi lahan, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Seluruh mandat ini mendukung penuh implementasi Result Based Payments (RBP) atau pendanaan berbasis hasil, sehingga hal ini menegaskan posisi Kementerian Kehutanan sebagai leading sector dalam upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Pilot Project GCF REDD+ RBP pertama di Indonesia dimulai tahun 2021. Indonesia mencatatkan pencapaian besar melalui implementasi RBP REDD+ periode 2014–2016, yang diakui GCF melalui pendanaan berbasis hasil sebesar US$ 103,8 juta (Rp 16,78 triliun, kurs Rp 16.170/US$). Dana ini diberikan atas penurunan emisi sebesar 20,25 juta ton CO₂e, dengan tambahan 2,5% untuk manfaat non-karbon.
Pendanaan tersebut terbagi menjadi dua output utama, yaitu:
(1) Output 1 senilai US$ 9,4 juta (Rp 152 miliar) atau 10% untuk penguatan tata kelola arsitektur REDD+, sistem safeguard, dan komunikasi program secara nasional; dan
(2) Output 2 senilai US$ 93,4 juta (Rp 1,52 triliun) atau 90% untuk memperkuat tata kelola hutan di tingkat tapak, termasuk diharapkan untuk perluasan Perhutanan Sosial, pengembangan KPH, rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian karhutla (kebakaran hutan dan lahan), dan penguatan mata pencaharian berkelanjutan.
Namun, output kedua ini kemudian dirinci dalam SK Menteri LHK No. 673 Tahun 2023 menjadi lima kategori pemanfaatan dana. Kelima kategori itu adalah:
a. Program Prioritas Nasional sebesar 11,25%;
b. Result-Based Payment tingkat provinsi sebesar 56,25%;
c. Program implementasi NDC sektor kehutanan nasional sebesar 11,25%;
d. Enabling conditions REDD+ sebesar 11,25%; dan
e. Manajemen dan operasional penyaluran sebesar 10%
Kick-off meeting penyusunan Concept Note dan Funding Proposal kali ini menandai dimulainya fase baru pendanaan GCF REDD+ RBP. Fase ini diharapkan menghasilkan pendekatan yang lebih berbasis bukti, akuntabel, inklusif, yang selaras dengan kondisi lapangan dan dinamika sosial-ekologis di Indonesia.
Penyusunan proposal ini dipimpin oleh Tim REDD+ RBP yang berada di bawah koordinasi Staf Ahli Menteri Bidang Perubahan Iklim dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan. Adapun UNDP berperan sebagai Accredited Entity GCF di Indonesia.
Kementerian Keuangan, yang berperan sebagai National Designated Authority (NDA) GCF, akan memastikan setiap proposal pendanaan tidak hanya memenuhi persyaratan GCF, tetapi juga selaras dengan prioritas pendanaan iklim nasional. Selain itu, UNDP juga akan memastikan seluruh kriteria kelayakan dan scorecard GCF terpenuhi.
