MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU PPLH, Auriga Sebut Perlu Acuan Operasional

Ajeng Dwita Ayuningtyas
4 September 2025, 11:48
MK, hukum, lingkungan hidup
Katadata/Fauza Syahputra
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pada 28 Agustus lalu.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pada 28 Agustus lalu. Keputusan ini menguatkan perlindungan terhadap para aktivis lingkungan hidup agar tidak dikriminalisasi. 

Putusan MK Nomor 119/PUU-XXIII/2025 ini menyatakan, Penjelasan Pasal 66 UU PPLH bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak menyertakan saksi, ahli, dan aktivis lingkungan dalam perlindungan hukum.

“Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi setiap orang, termasuk korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau menempuh cara hukum akibat adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,” demikian bunyi amar putusan tersebut. 

Menanggapi putusan ini, Direktur Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menilai perlu adanya acuan operasional di Kepolisian RI.

“Ketika polisi atau penyidik menerima laporan, akan tetap diproses. Ini karena tidak ada aturan operasionalisasi mereka untuk menangani perkara pembelaan terhadap lingkungan,” kata Roni kepada Katadata.co.id, Kamis (4/9). 

Roni mendorong pemerintah untuk memastikan Polri juga memiliki aturan perlindungan saat proses penyidikan pembela lingkungan.

Jalan lainnya, menurut Roni, perlu ada klausul pada RUU KUHAP yang menegaskan bahwa proses hukum tidak bisa dikenakan pada orang-orang yang menjalankan perintah undang-undang dan melakukan pembelaan terhadap lingkungan.

Sebelumnya, upaya perlindungan dalam Pasal 66 UU PPLH hanya ditujukan untuk korban atau pelapor dugaan pencemaran maupun perusakan lingkungan.  

Namun, MK mempertimbangkan definisi “setiap orang” dalam Pasal 1 angka 32 UU PPLH sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional atas lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlindungan ini diperluas, termasuk kepada aktivis lingkungan.

Terlebih, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin konstitusi dalam Pasal 28H ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.

Melindungi Pembela Lingkungan dari Jeratan SLAPP

MK juga menjelaskan dalam amar putusan, perlindungan dilakukan untuk mencegah tindakan pembalasan melalui pemidanaan, gugatan perdata, dan/atau upaya hukum lainnya. Dalam dokumen rilis Isu Sepekan Komisi III DPR RI, perluasan objek perlindungan ini sekaligus menjawab praktik Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang mengganggu partisipasi publik. 

Auriga Nusantara mencatat, sepanjang 2014- September 2025, setidaknya terdapat 171 tindakan SLAPP terhadap pembela lingkungan di Indonesia. 

SLAPP adalah gugatan atau laporan oleh pihak yang lebih kuat, seperti pejabat publik, korporasi, atau pelaku bisnis, untuk menghentikan partisipasi publik. 

Dari total 171 SLAPP, paling banyak terjadi di sektor pertambangan dan energi, lalu disusul sektor perkebunan. 

Kasus terbesar adalah kriminalisasi masyarakat yang melakukan pelaporan atau pembelaan atas hak lingkungan hidupnya. Sementara, gugatan paling banyak berasal dari korporasi.

Namun, Roni menilai penindakan kasus ini tidak seimbang. “Kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat jarang sekali diproses, bisa bertahun-tahun kemudian dan proses hukumnya tidak jelas” katanya.

Pengingat bagi DPR dan Pemerintah Indonesia

Menanggapi pengabulan gugatan ini, Greenpeace Indonesia dalam unggahan Instagramnya menyatakan perjuangan panjang rakyat kecil, mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat tidak berakhir sia-sia.

Putusan ini dapat mendorong suara masyarakat untuk lingkungan tanpa takut dikriminalisasi.

Selain itu, Greenpeace Indonesia juga memberi catatan bagi Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Indonesia. 

“Tugas kalian bukan sekadar meloloskan undang-undang, tapi memastikan rakyat terlindungi. Sebab setiap kali rakyat menang di MK, itu bukan hanya kemenangan publik, itu juga cermin dari kegagalan legislasi di Senayan,” tulis Greenpeace, pada Senin (1/9).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...