Riset PwC-NUS: 82% Target Net Zero Tidak Terverifikasi
Riset PwC-NUS Business School mengungkapkan 53% perusahaan di Asia-Pasifik telah menetapkan target net zero. Namun, baru 18% yang telah divalidasi secara independen oleh Science Based Targets initiative (SBTi). Artinya, 82% target tersebut belum tervalidasi.
Bahkan, studi ini juga mengungkapkan jumlah perusahaan yang melaporkan emisi scope 3 lebih sedikit daripada yang telah terverifikasi. Padahal, emisi scope 3 biasanya mencakup lebih dari 90% jejak iklim perusahaan.
Emisi scope 3 adalah semua emisi tidak langsung yang berasal dari rantai nilai suatu organisasi, termasuk kegiatan hulu dan hilir yang tidak dimiliki atau dikendalikan langsung oleh perusahaan.
"Banyak perusahaan menetapkan target net zero yang ambisius, tetapi tantangannya sebenarnya adalah bagaimana membuktikannya," ujar Andre Mawardhi, Senior Manager Agriculture and Environment di KOLTIVA, dalam siaran pers, Kamis (25/9).
Emisi scope 3 yang merupakan emisi tidak langsung justru menjadi tantangan terbesar bagi perusahaan yang ingin mencapai net zero. Pasalnya, sebagian besar perusahaan masih bergantung pada faktor emisi generik atau model berbasis pengeluaran.
Data-data generik ini dipertanyakan oleh regulator, investor, dan auditor. "Scope 3 tidak bisa ditangani hanya dengan estimasi. Tanpa data di tingkat lahan yang kredibel, target berisiko dianggap sekadar aspirasi namun tanpa kemajuan yang terukur," ujar Andre.
Para ahli menekankan, pengukuran scope 3 memerlukan pergeseran dari rata-rata generik ke data yang spesifik dan kontekstual. Perubahan tata guna lahan, aplikasi pupuk, dan logistik sangat bervariasi di berbagai wilayah.
Pendekatan Ganda KOLTIVA Jadi Solusi
Model global tunggal tidak dapat menangkap perbedaan ini. Citra satelit dan alat digital telah maju, tetapi tanpa validasi di lapangan, angka-angka ini masih bisa diperdebatkan.
KOLTIVA menugaskan agen lapangan dan agronomis lokal yang bekerja langsung dengan petani kecil untuk memastikan data dan mencerminkan kenyataan.
"Menilai emisi bersama petani di lapangan memberi kami titik masuk untuk perubahan nyata," ujar Andre.
Hal ini dilakukan dengan menyesuaikan penggunaan pupuk, memperbaiki persiapan lahan, atau mengubah limbah tanaman menjadi biochar. Andre menyebut langkah-langkah praktis ini menurunkan emisi sekaligus membangun kepercayaan. Dengan demikian, produsen menjadi mitra iklim, bukan sekadar titik data.
Pendekatan ganda yang menggabungkan keterlacakan digital dengan verifikasi di tingkat lapangan memastikan pengungkapan data mampu bertahan dari pengawasan regulator dan investor sambil mendorong perbaikan nyata di rantai pasok.
"KOLTIVA telah mengembangkan jalur terstruktur yang mengubah ambisi iklim perusahaan menjadi aksi yang dapat diverifikasi," tuturnya. Pendekatan ini dimulai dengan kepatuhan dan dokumentasi terverifikasi, pemetaan lahan hingga tingkat poligon untuk memastikan sumber tanpa deforestasi dan selaras dengan SBTi FLAG dan ISO 14068-1.
Pendekatan ini diperkuat dengan sistem keterlacakan digital KoltiTrace MIS yang menangkap data emisi langsung dari lahan dan pemasok. Sistem ini terintegrasi dengan Cool Farm Tool, kerangka kerja internasional untuk menghitung emisi gas rumah kaca di lahan, penyerapan karbon tanah, dan dampak keanekaragaman hayati.
Andre mengungkapkan untuk menjaga integritas rantai pasok, KOLTIVA memastikan pelaporan yang transparan dan penanganan terpisah. Alhasil, komoditas bebas deforestasi dan rendah karbon tetap dapat ditelusuri dari asal hingga pasar.
"Scope 3 adalah tempat aksi iklim benar-benar terjadi. Tanpa transparansi rantai pasok, target iklim berisiko menjadi janji di atas kertas," ujar Manfred Borer, CEO dan Co-founder KOLTIVA. Dengan menggabungkan teknologi dan keterlibatan lapangan, KOLTIVA memastikan perusahaan tidak hanya menghitung tetapi juga mengurangi emisi mereka.
