Kawasan Jabodetabek Hadapi Darurat Sampah Puntung Rokok
Sampah puntung rokok masih menjadi masalah serius di kawasan Jabodetabek. Audit Yayasan Lentera Anak menunjukkan rata-rata ditemukan empat puntung rokok di setiap satu meter persegi di ruang publik.
Campaign Strategist Yayasan Lentera Anak, Effie Herdi mengatakan ratusan relawan menyisir kawasan Jabodetabek selama 19 jam dan menemukan 16.847 puntung rokok. Selain itu, para relawan juga menemukan 1.215 kemasan rokok. Para relawan menyisir kawasan selus 67. 204 meter persegi pada April-Mei 2025 di kawasan tersebut.
“Polusi puntung rokok bukan lagi kasus insidental, tapi jadi fenomena keseharian di ruang publik perkotaan yang terjadi secara sistematik dan meluas,” katanya dalam diskusi ‘Jejak Sampah Rokok di Setiap Langkah: Menagih Akuntabilitas Industri’, Senin (17/11).
Temuan tersebut juga relevan dengan catatan Ocean Conservancy 2022-2024, yang memperlihatkan kenaikan sampah di lautan global. Pada 2022, sampah puntung rokok di lautan mencapai 1,1 juta. Kemudian meningkat menjadi 1,9 juta pada 2024.
Yayasan Lentera Anak menilai fenomena ini bukan hanya muncul dari perilaku individu, melainkan desain produk yang tidak ramah lingkungan. Ini kemudian ditambah dengan kebijakan tanggung jawab produsen yang lemah.
Puntung rokok merupakan limbah beracun dengan kandungan logam berat, nikotin, dan mikroplastik yang mengancam ekosistem dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, Yayasan Lentera Anak menyarankan agar sampah ini masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3), sehingga dapat dikelola sistematis.
Dalam paparannya Effie juga menjelaskan, tanpa tanggung jawab industri, Indonesia rentan gagal mengendalikan salah satu sumber polusi plastik paling luas di ruang publik ini. Prinsip polluter pays pada industri rokok jadi solusi yang ditawarkan pihaknya.
Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu melarang penggunaan filter rokok sebagai upaya global pengurangan polusi plastik. Sebab menjadi bentuk greenwashing karena perannya memperparah polusi.
Isu sampah rokok dianggapnya perlu masuk kebijakan nasional lingkungan dan kesehatan, serta didorong dengan kolaborasi lintas sektor untuk upaya advokasi dan penegakan regulasi.
