Masa Depan Bangka Belitung yang Diserbu Tambang Timah Ilegal
Aroma asin Laut Cina Selatan yang terbawa angin laut menempel di pakaian lusuh milik Abdul Salam (45). Seragam itu dipenuhi bercak oli, tak hilang meski sudah dicuci berkali-kali. Ia berdiri di geladak kapal, memandang lautan yang sudah menjadi rumahnya selama puluhan tahun.
Abdul Salam adalah Kapten Kapal Isap Produksi (KIP) 78 milik PT Timah. Ia bergabung dengan perusahaan itu pada 2005, dan sejak itu, ia hidup dalam ritme laut. Lima hari bekerja di atas kapal, tiga hari turun ke darat untuk bertemu keluarga. Begitu terus bergulir.
“Lebaran juga kalau kena jadwal di sini ya di sini,” katanya
Bukan cuma Abdul yang menganggap laut di sekitar Kepulauan Bangka Belitung sebagai rumah kedua. Tak jauh dari Dermaga Belinyu, kapal-kapal kayu melaju dengan canggung di tengah laut. Tanpa plang nama, tanpa bendera.
Seorang awak kapal menunjuk satu titik di kejauhan. Sebuah bangunan berdiri ditopang drum-drum yang digoyang gelombang. Bangunan itu terlihat sederhana. Atapnya dari kayu, dindingnya menggunakan papan.
“Itu penambang ilegal,” katanya lirih.
Bangunan serupa terus bermunculan di antara gelombang dan kapal yang melaju. Seolah laut di sekitar Bangka Belitung dipenuhi titik-titik kecil yang menandai cerita soal kehadiran mereka yang tak direstui negara.
“Alat mereka itu sederhana sekali,” kata Abdul Salam. “Hanya pompa. Kadang mereka menyelam sendiri.”
Kisah Abdul hanyalah satu di antara masyarakat Bangka Belitung yang menggantungkan hidupnya pada timah di sana. Ada puluhan perusahaan timah berizin di wilayah ini. Sementara itu, ratusan lainnya beroperasi di bawah radar negara.
Bagi masyarakat di Bangka Belitung, timah telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pada 2021, provinsi ini punya cadangan 2 ton timah. Sementara itu, potensi bijih timah Kepulauan Bangka Belitung mencapai 6 miliar ton dengan cadangan mencapai lebih dari 6,1 miliar ton. Ini membuat Bangka Belitung menjadi wilayah penghasil timah terbesar di Indonesia.
Tambang timah ilegal menyebar dari darat ke laut, dari laut ke darat. Lubang-lubang tambang menganga di banyak area, membentuk kolam mati yang berlumpur. Sisa-sisa alat berat berserakan di sekitar lubang, meninggalkan luka mendalam di pulau ini.
Pengamat Tambang dan Energi, Ferdy Hasiman, mengatakan kegiatan pertambangan ilegal memicu kerusakan lingkungan paling signifikan dalam sektor pertambangan. Ini karena aktivitas dilakukan tanpa standar teknis dan keberlanjutan lingkungan. Ia menyoroti kasus yang paling kasat mata terjadi di Bangka Belitung, di mana kerusakan lahan akibat tambang ilegal terlihat jelas.
“Tambang ilegal bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga mengganggu pertumbuhan perusahaan-perusahaan publik di daerah itu” katanya.
Ferdy menjelaskan tambang ilegal tidak memiliki perencanaan teknis, baik dalam metode penambangan maupun analisis cadangan. Para pelaku tambang ilegal, katanya, hanya berorientasi pada pengambilan mineral tanpa memperhatikan kondisi geologis maupun keselamatan. Akibatnya, kecelakaan di lubang tambang ilegal sering terjadi dan merenggut korban jiwa.
“Kalau perusahaan besar melihat dulu cadangannya, apakah ekonomis atau tidak. Tambang ilegal hanya masuk dan mengeruk apa yang ada. Ini yang membuat efek destruktifnya jauh lebih besar,” tegasnya.
Kerusakan Lingkungan
Cerita tambang ilegal timah ini sampai juga ke Istana Negara. Presiden Prabowo Subianto menyebut ada ribuan tambang ilegal yang hasilnya diselundupkan keluar negeri, menguap begitu saja tanpa mencatatkan manfaat bagi negara. Angka kerugiannya disebut mencapai Rp300 triliun.
Namun selain kerugian negara yang lenyap begitu saja, ada juga dampak yang tak banyak diperhatikan. Yakni alam yang rusak dan makin gersang akibat praktik pertambangan yang tidak bertanggung jawab.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal mencapai Rp271 triliun. Dengan luas daratan mencapai 1,6 juta hektar, dalam kurun waktu enam tahun (2014-2020), Kepulauan Bangka Belitung telah kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektar.
Selain hutan, ekosistem sungai juga menghadapi tantangan. Tercatat ada lebih dari 2.000 sungai yang bermuara di Selat Bangka dan Pesisir Timur yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Pada 2019, sekitar 55% sungai tercemar, yang diperparah dengan degradasi hutan mangrove seluas 10.858 hektar, hanya dalam kurun waktu satu tahun (2019–2020).
WALHI menilai eksploitasi pertambangan timah menyebabkan angka lahan kritis di Bangka Belitung kian bertambah. Catatan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bangka Belitung menunjukkan angkanya mencapai 167.104 hektare (ha) dari total 1.668.933 ha hutan dan lahan.
Tak hanya itu, hingga saat ini peristiwa bencana terus menghantui Kepulauan Bangka Belitung. Analisis Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPB) Babel menyebut ancaman bencana tanah longsor, banjir serta kekeringan, masuk dalam kategori risiko tinggi. Pada tahun 2023, BPBD mencatat ada 1.084 bencana terjadi wilayah ini.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Timah, Rendi Kurniawan menyebut perusahaan berupaya melakukan penyekatan agar hasil tambang baik dari konsesi PT Timah maupun masyarakat tidak lagi bocor keluar negeri.
Selain itu perusahaan juga berupaya mengembalikan bekas galian tambang dengan perbaikan ekosistem. Rendi mengatakan, perseroan berupaya untuk meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan maupun keanekaragaman hayati.
"Kami telah melakukan berbagai upaya pelaksanaan reklamasi darat dan laut, misalnya penataan lahan, penanaman vegetasi juga penanaman mangrove," jelasnya.
Di wilayah Air Jangkang, bekas tambang PT Timah kini dipenuhi pepohonan hijau. Lubang besar yang dulu menganga kini ditanami aneka jenis pohon. Suara mesin telah lama berhenti. Digantikan oleh suara burung dan serangga yang mulai kembali.
Sementara di Pantai Rebo ratusan bibit mangrove berbaris rapi di sepanjang garis pasang surut. Di antara para pekerja dan warga, terlihat tangan-tangan yang kotor oleh tanah, tapi di dalamnya tersimpan niat baik: menghidupkan kembali apa yang pernah rusak. Mereka secara khusus dipekerjakan oleh PT Timah untuk menanam pohon mangrove untuk mencegah abrasi, serta menghidupkan ekosistem yang dulu telah hilang.
“Kami ingin pesisir ini kembali hidup,” kata salah seorang pekerja.
Perjalanan terakhir membawa saya menyeberang ke perairan sekitar Pulau Putri. Laut tampak tenang, tetapi kisah di bawahnya pernah tidak demikian. Para penyelam profesional bercerita mereka membikin karang buatan dan tempat bernaung ikan di berbagai titik perairan Bangka Belitung. Habitat buatan ini diyakini mampu menjadi tempat tumbuh kembang terumbu karang dan rumah bagi ikan, sehingga membantu meningkatkan kembali populasi biota laut.
Dari atas kapal, saya menatap ke permukaan laut yang berkilau. Angin membawa suara samar dari kejauhan, mungkin suara kapal nelayan, mungkin hanya desir ombak. Tapi di sana, di balik permukaan air yang tenang itu, ada kehidupan baru yang sedang disiapkan.


