Arcandra Tahar Ungkap Penyebab Sulitnya Pengembangan Energi Terbarukan
Pengembangan energi baru terbarukan atau EBT di Indonesia masih menemui sejumlah kendala. Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebut pembiayaan untuk proyek ini masih sulit.
Tingkat bunganya tinggi, sekitar 10% sampai 11%, sedangan laju pengembalian investasinya atau internal rate of return (IRR) sekitar 15%. Dengan selisih 4%, angka ini belum cukup menguntungkan bagi pengembang energi ebersih.
“Tarif listriknya menjadi kurang kompetitif,” ujarnya dalam acara 18th Economix: Multidimensional Perspectives on Climate Breakdown : Exploring the Aftermath, Selasa (2/3).
Masalah lainnya, perizinan dan pembebasan lahan yang rumit. Investor kerap kesulitas karena birokrasi yang berbelit di pemerintah daerah. Dengan hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja, harapannya, kompleksitas itu dapat terpangkas.
Ia juga menyinggung soal ketahanan energi Indonesia. Negara ini masih bergantung dengan minyak. Karena itu, investasi dan kegiatan eksplorasi hulu migas perlu terus ditingkatkan. Produksinya bukan hanya untuk konsumsi kendaraan bermotor, tapi juga mendorong industri petrokimia.
Untuk mengurangi impor elpiji (LPG), ia menyarakan pemerintah meningkatkan pembangunan jaringan gas kota. Di sektor kelistrikan, program konversi gas alam untuk mengganti batu bara di pembangkit listrik harus terus berjalan guna mengurangi emisi karbon.
Secara bersamaan, Indonesia juga perlu menggenjot investasi di bidang energi terbarukan, agar target bauran energi sebesar 23% di tahun 2025 dapat tercapai. Masyarakat perlu diarahkan untuk memakai kendaraan listrik, kompor listrik, dan fokus pada proyek baterai RI.
"Kami berharap program di atas dapat membuat Indonesia mencapai ketahanan energi dan membantu mewujudkan kelestarian lingkungan bagi dunia," ujarnya.
Kendala Pendanaan
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruanda Agung Sugardiman mengatakan pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca. Target penurunannya sebesar 29% di 2030 dengan usaha sendiri (business as usual/BAU)dan 41$ dengan bantuan internasional. "Kami melakukan kegiatan prioritas untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon," kata dia.
Pengelolaan hutan dan inovasi teknologi rendah karbon memiliki peran penting dalam menurunkan emisi. Target mitigasi sektor kehutanan mencapai 17,2% merupakan 70% dari target pengurangan gas rumah kaca BAU.
Namun, Indonesia memiliki tantangan besar dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Salah satunya mengenai pendanaan.
Negara ini membutuhkan dana sekitar Rp 4.557 triliun untuk mendanai program perubahan iklim hingga 2030. "Dan adaptasinya sekitar Rp 1.454 triliun," kata dia. Pada 2018 anggaran untuk mitigasi iklim mencapai Rp 72,2 triliun. Untuk itu, perlunya menghadapi pengembangan instrumen keuangan.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menaikkan target bauran energi baru terbarukan atau EBT. Target yang pemerintah tetapkan sekarang dinilai terlalu rendah. Angkanya di 23% pada 2025 dan 31% di 2050.
Siti merekomendasikan agar targetnya naik menjadi 50% di 2050. “Kalau kami lihat, Pak Menteri (Arifin Tasrif), boleh naik lagi di 2050, jadi pada 2070 menjadi net zero emission (bebas emisi),” katanya pada 28 Januari lalu.
Sepanjang 2015 hingga 2018, emisi karbon atau gas rumah kaca yang timbul di negara ini paling banyak dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dari sektor kehutanan, Siti mengklaim, justru menurun.
Ia menyebut kehutanan menjadi sektor penting dalam pencapaian target pengurangan emisi nasional atau nationally determined contribution (NDC). Berdasarkan konvensi perubahan iklim atau Perjanjian Paris 2015, Indonesia memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon dari sektor ini sebesar 17,2%. Lalu, energi 11%, limbah 0,32%, pertanian 0,13%, serta industri dan transportasi 0,11%.
Target pada 2030, Indonesia akan menurunkan sekitar 29% emisi gas rumah kaca (GRK) atau setara 2,8 giga ton karbon dioksida (CO2). Per 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah berupaya menurunkan emisi karbon sampai 70%.