PTBA Targetkan Pembangkit Listrik Tenaga Suryanya Beroperasi Pada 2022
PT Bukit Asam Tbk akan membangun pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS berkapasitas 200 megawatt (MW) pada tahun ini. Lokasinya akan memanfaatkan bekas tambang batu bara perusahaan yang sudah direklamasi.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan perusahaan masih mencari teknologi yang tepat dan murah untuk mengembangkannya. “Diharapkan PLTS ini beroperasi di 2022,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (12/3).
Perusahaan berkode efek PTBA itu sedang melakukan studi dengan PLN. “Sehingga ketika mengimplementasikannya memakai teknologi dan biaya yang efisien,” ucap Direktur Pengembangan Bukit Asam Fuad Iskandar Zulkarnain Fachroeddin.
Ada dua lahan di Sumatera Barat yang akan perusahaan manfaatkan untuk membangun pembangkit dari energi baru terbarukan (EBT) tersebut. Keduanya adalah lahan pasca tambang seluas 224 hektare di Ombilin dan 201 hektare di Tanjung Enim.
Bukit Asam sebelumnya telah membangun PLTS, seperti di atap gedung Airport Operation Control Center (AOCC) Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pembangkit ini dikelola PT Angkasa Pura II dengan menggandeng anak usaha PT LEN Industri, yakni PT Surya Energi Indonesia.
Pengolahan Limbah Batu Bara
Pemerintah telah mengeluarkan limbah batu bara hasil pembakaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari kategori bahan berbahaya dan beracun (B3). PTBA bakal mengolah limbah tersebut menjadi bahan baku keperluan konstruksi.
Jenis limbah yang keluar dari kategori B3 itu adalah fly ash (abu terbang) dan bottom ash (abu padat) atau FABA. Limbah padat ini berasal dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Arviyan mengatakan, seiring kemajuan teknologi, limbah batu bara sudah tidak lagi menjadi persoalan. “Teknologi untuk mengelola FABA sudah jauh berkembang,” katanya.
FABA dapat dimanfaatkan untuk beberapa bahan keperluan konstruksi. Misalnya, pelapis fondasi jalan dan bahan bangunan. Perusahaan telah memiliki teknologi untuk menangkap limbah PLTU tersebut. "Dengan adanya aturan ini menjadi kabar baik, gembira, buat kami," ujarnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan material FABA yang menjadi limbah non-B3 hanya dari proses pembakaran batu bara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri.
Untuk fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap termasuk limbah B3. Bahan beracunnya adalah fly ash (B409) dan bottom ash (B410).
Pertimbangannya, pembakaran batu bara di sektor industri memakai temperatur rendah. Proses ini membuat unburned carbon yang dihasilkan tinggi dan relatif tidak stabil saat disimpan.
Kondisinya berbeda untuk pembakaran batu bara di kegiatan PLTU. Dengan memakai temperatur tinggi, kandungan unburned carbon-nya menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Limbahnya dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining), dan restorasi tambang.
Aturan itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Kehadirannya merupakan turunan dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 dinilai sebagai keputusan bermasalah dan berbahaya. Batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif.
Ketika komoditas tambang itu dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracunnya terkonsentrasi pada hasil pembakarannya, yakni abu terbang dan abu padat (FABA).
Limbah tersebut mengandung arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium. “Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik, dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar,” ujar Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).