DPR Masih Ingin Tampung Masukan RUU EBT dari Banyak Pihak
Komisi VII DPR menyatakan tidak ingin gegabah dalam penyusunan rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau RUU EBT. Hal ini guna mengakomodir kepentingan semua pihak. Walaupun penyusunan rancangan aturan ini sudah terjadi sejak 2018.
Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan saat ini DPR masih akan terus menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) guna mendengarkan aspirasi dan masukan berbagai pihak.
"Sampai saat ini RDPU kami gak mau gegabah kita masih mau memanggil pihak yang lebih banyak. Karena mengingat urgensi UU ini cukup positif," ujarnya Senin (26/4) dalam sebuah acara diskusi secara virtual.
Komisi VII sebelumnya menargetkan RUU EBT dapat rampung pada Oktober tahun ini. Untuk diskusinya, saat ini telah masuk pembahasan naskah akademik dan meminta masukan dari berbagai pihak. "Insya Allah tahun ini kami selesaikan," ujarnya pada kesempatan berbeda.
Sementara itu Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengusulkan supaya RUU EBT hanya fokus ke energi terbarukan. Sehingga RUU EBT seharusnya diubah menjadi RUU ET.
Kemudian mulai dari perencanaan, pengadaan dan pengoperasian harus mengutamakan energi terbarukan. Artinya, selama energi terbarukan masih ada, maka teknologi lain diharapkan tidak masuk dalam perencanaan, pengadaan dan pengoperasian.
Adapun jika dikaitkan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun PLN dan telah disahkan pemerintah, ini berarti di setiap RUPTL hanya memasukkan energi terbarukan, tidak akan ada pengembangan energi non-terbarukan.
Kemudian pentingnya penerapan standar portofolio energi terbarukan. Artinya pemilik pembangkit energi berbasis fosil yang masih beroperasi saat ini harus juga berinvestasi di energi terbarukan. "Atau mengkonversi sebagian kapasitas yang dimiliki ke energi terbarukan," kata dia kepada Katadata.co.id.
Namun jika perusahaan tidak mampu, maka mereka harus membeli sertifikat energi terbarukan, yaitu sertifikat yang diterbitkan untuk pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah membentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET). Ini menjadi sangat penting agar implementasi dari kebijakan dapat lebih terarah dan efisien. "Badannya seperti SKK Migas, tugas-tugasnya juga mirip dengan SKK Migas," ujarnya.
Dengan porsi pemanfaatan energi terbarukan ke depan yang akan lebih tinggi, maka diperlukan badan independen yang akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mencapai target-target pembangunan energi terbarukan.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengungkapkan RUU EBT yang tengah disusun pemrintah bersama dengan DPR akan mengakselerasi kebutuhan pengembangan EBT di Indonesia.
"RUU EBT ini sifatnya percepatan, karena harus melipatgandakan realisasinya dan magnitudenya besar. Misalnya untuk listrik, kalau kita mau naik dua kali lipat, berarti harus menaikkan (EBT) sampai 12 ribu Gigawatt dalam lima tahun," kata Dadan.
Selain meningkatkan koordinasi dan sinergi antar sektor, keberadaan aturan EBT diharapkan mampu mempercepat dari sisi proses-proses investasi. Hal ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara nasional, baik dari segi EBT maupun ekonominya.
Salah satu sisi keenomian yang disorot Dadan adalah keberlangsungan korporasi PLN, dimana ia berharap upaya transisi energi akan memberikan dampak positif bagi finansial PLN. "Masuknya EBT yang berbasis listrik justru akan memperbaiki kasnya PLN," kata dia.
Dadan menekankan EBT harus mampu menciptakan keekonomian yang efisien dengan masuk ke level daya saing yang baik terhadap energi fosil. Jangan sampai jatuh pada nilai keekonomian yang tinggi.
"Jadi EBT punya solusi di dua sisi, yakni menyediakan listrik yang lebih baik dan bersih serta menjadi penyedia tenaga kerja yang berkelanjutan," katanya.
Menurut dia, EBT bukan hanya memiliki dampak positif terhadap lingkungan, melainkan juga mengikuti tren perekonomian, di mana negara-negara maju kini ramai-ramai menuju transisi energi, terutama dengan negara-negara tujuan ekspor yang mulai fokus pada sumber jejak karbon sebuah produk.