Bank Dunia: Transisi Energi Berpotensi Membuat 2 Juta Orang Menganggur
Studi Bank Dunia menunjukkan langkah lebih ambisius pemerintah mendorong transisi energi akan menimbulkan biaya mahal terhadap perekonomian dalam jangka pendek hingga menengah. Dalam skenario terburuk, langkah ini berpotensi menyebabkan 2,1 juta orang kehilangan pekerjaannya pada 2040.
Bank Dunia menggunakan dua skenario untuk menghitung dampak ekonomi dari rencana transisi energi di dalam negeri dengan estimasi waktu tahun 2040. Kedua skenario tersebut menggunakan baseline target NDC Indonesia yang tertuang dalam RUPTL 2021-2030.
Skema pertama yakni pensiun dini PLTU batu bara dilakukan dalam 20 tahun. Emisi karbon berkurang 40% dan kapasitas terpasang PLTU baru bara tersisa kurang dari 5 GW pada 2040. Sementara pada skema kedua, emisi CO2 bisa dikurangi hingga 70% dan tidak ada lagi pembangkit batu bara.
Bank Dunia dalam studi tersebut juga membandingkan dampak ekonomi transisi energi berdasarkan sumber pendanaan. Dampak yang dihasilkan akan berbeda antara yang didanai swasta dan melalui blended finance atau campuran 50:50 antara pembiayaan pemerintah dan swasta.
"Kehilangan pekerjaan diperkirakan mencapai hingga 2 juta secara kumulatif pada tahun 2040 dalam skenario terburuk," tulis Bank Dunia dalam laporannya bertajuk A Green Horizon: Toward a High Growth and Low Carbon Economy dikutip Kamis (13/1).
Dalam skenario pertama dan jika pembiayaan sepenuhnya melalui swasta, maka risiko pengurangan tenaga kerja sekitar 500 ribu orang. Namun akan semakin banyak jika didanai melalui dengan skema blended, yakni dapat mencapai 1,8 juta orang.
Sementara menggunakan skenario kedua dan sepenuhnya pembiyaan swasta, hasilnya justru dapat menciptakan 50 ribu tenaga kerja baru. Namun hasil jauh berbeda jika dilakukan dengan blended finance, yakni justru menciptakan pengurangan 2,1 juta tenaga kerja.
Jumlah sekitar 2 juta tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan itu setara 1% dari populasi angkatan kerja di Indonesia atau 18% terhadap angkatan kerja di empat provinsi yang ekonominya terkait erat pada batu bara.
Meski begitu, Bank Dunia dalam catatannya menyebut, kehilangan pekerjaan ini akan dikompensasi dengan adanya penciptaan lapangan kerja baru di sektor gas dan energi terbarukan.
"Perekonomian melepaskan pekerjaan pada fase awal transisi tetapi dapat menciptakan lebih banyak pekerjaan dalam jangka panjang dengan pembiayaan swasta," kata Bank Dunia.
Meski demikian, rencana transisi energi yang lebih ambisius bisa memberi efek positif kepada Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam skema pertama jika pembiayaan mengandalkan swasta, maka akan ada penambahan sebesar 0,2% terhadap PDB dan 0,1% jika menggunakan pendanaan campuran.
Sementara dalam skema kedua, di mana target transisi energi lebih ambisius, PDB Indonesia bisa meningkat 0,3% jika dibiayai swasta dan hanya 0,1% jika dengan pendanaan campuran. Ini menunjukkan semakin banyak dukungan dari swasta, maka multiplier efek-nya ke perekonomian akan lebih besar.
"Lebih banyak pembiayaan publik dibandingkan dengan pembiayaan swasta lebih rendah PDB karena menggunakan sumber daya publik untuk transisi sektor kelistrikan dan mengesampingkan pengeluaran prioritas lainnya karena kendala anggaran," kata Bank Dunia.
Pemerintah sebelumnya menargetkan pensiun PLTU batu bara akan terealisasi tahun 2056. Namun dalam pertemuan COP26 di Glasgow awal November tahun lalu, pemerintah menyampaikan rencana ambisiusnya, dimana rencana itu bisa dipercepat hingga 2040.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, laporan bank dunia tersebut menjadi peringatan bahwa pemerintah harus menjalankan transisi energi lebih matang lagi. Pemerintah perlu mendorong peningkatan investasi di Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya yang bergelut di sektor energi terbarukan.
"Pemerintah juga perlu memperhatikan nasib pekerja di sektor batu bara maupun energi fosil lainnya. Bisa dilakukan reskilling untuk kemudian mereka dimasukkan ke sektor energi terbarukan agar menghindari peningkatan angka pengangguran," ujar dia kepada Katadata.co.id.
Selain itu, temuan bahwa dukungan pendanaan dari swasta yang lebih minim dampak negatif juga perlu jadi perhatian pemerintah. Menurut dia, dukungan kepada sektor swasta perlu ditingkatkan, termasuk insentif perpajakan untuk membantu membangun ekosistem energi bersih di dalam negeri.