Riset: Listrik EBT Surya dan Angin kini Capai Sepertiga Listrik Dunia
Dunia terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Laporan dari sebuah lembaga nirlaba berbasis di Amerika Serikat (AS), Rocky Mountain Institute (RMI), menunjukkan porsi listrik tenaga angin dan surya kini mencapai 33% dari listrik dunia.
“Proyek tenaga angin dan surya berada di jalur yang tepat untuk menyumbang lebih dari sepertiga listrik dunia pada 2030 dan mencapai perubahan yang diperlukan di sektor energi untuk memenuhi target iklim global,” kata Pejabat senior RMI, Kingsmill Bond, seperti dikutip Reuters, Jumat (14/7).
Sultan al-Jaber, presiden KTT iklim PBB berikutnya, COP28, awal tahun ini menyerukan tiga kali lipat pembangkit energi terbarukan pada tahun 2030 untuk mengekang emisi gas rumah kaca dan membantu mencapai tujuan yang ditetapkan berdasarkan perjanjian iklim Paris 2015.
Laporan RMI menunjukkan pertumbuhan sektor eksponensial berarti proyek angin dan matahari diperkirakan menghasilkan setidaknya 33% listrik global, naik dari sekitar 12% sekarang, yang menyebabkan penurunan pembangkit bertenaga bahan bakar fosil dan daya yang lebih murah.
RMI, organisasi nirlaba berbasis di AS yang berfokus pada energi bersih, melakukan penelitian dalam kemitraan dengan Bezos Earth Fund, dengan dana US$ 10 miliar atau Rp 283 triliun dari pemilik Amazon Jeff Bezos untuk membantu mendanai solusi perubahan iklim.
“Saat ini biaya listrik PLTS, yang sudah menjadi bentuk produksi listrik termurah, akan turun menjadi US$ 20 per megawatt hour (MWh) dari sekitar US$ 40 MWh saat ini, karena lebih banyak proyek dikerahkan dan skala ekonomi meningkat,” kata laporan itu.
“Manfaat penerapan energi terbarukan yang cepat adalah keamanan dan kemandirian energi yang lebih besar, ditambah deflasi harga energi jangka panjang karena ini adalah teknologi manufaktur - semakin banyak Anda memasang semakin murah harganya,” kata Bond.
Investasi Proyek Energi Terbarukan Melonjak Drastis
Konferensi PBB terkait Perdagangan dan Pembangunan (United Nations Conference on Trade and Development/UNCTAD) mengatakan, investasi energi terbarukan meningkat hampir tiga kali lipat karena Perjanjian Paris atau Paris Agreement pada 2015 lalu.
Namun, UNCTAD menyebut, sebagian besar uang mengalir ke negara-negara maju. Sementara negara berkembang masih membutuhkan sekira US$ 1,7 triliun untuk setiap tahun untuk mengembangkan investasi energi terbarukan.
"Ini termasuk untuk jaringan listrik, jalur transmisi, dan penyimpanan. Mereka (negara berkembang) hanya menarik sekitar US$ 544 miliar pada 2022," tulis UNCTAD dalam laporannya.
Laporan UNCTAD juga menunjukkan bahwa lebih dari 30 negara berkembang masih belum mendaftarkan proyek investasi internasional yang besar dalam energi terbarukan.
Namun, UNCTAD juga menyebut sebagian besar dari 10 negara berkembang dengan tingkat investasi internasional tertinggi dalam energi terbarukan, berinvestasi di sektor itu dari sebagian kecil total investasi asing langsung (FDI) yang mereka terima.
"Modal merupakan penghalang utama untuk investasi energi di negara berkembang, yang dipandang lebih berisiko. Kemitraan antara investor internasional, sektor publik, dan lembaga keuangan multilateral dapat sangat mengurangi biaya modal," kata UNCTAD.
UNCTAD menghimpun 10 negara berkembang yang dinilai memberikan investasi terbesar untuk energi terbarukan. Nilai ini dihimpun dari 2015 hingga 2022.
Urutan pertama Brasil dengan nilai proyek investasi sebesar US$ 114,8 miliar. UNCTAD menyebut, Brasil memiliki pangsa energi terbarukan 32% dari total nilai proyek energi terbarukan. Kedua, Vietnam dengan nilai US$ 106,8 miliar. Adapun proporsi pangsa diproyeksikan mencapai 31%.
Ketiga, Cile, dengan nilai US$ 84,6 miliar dan proporsinya mencapai 54%. Keempat, India, dengan nilai investasi sebesar US$ 77,7 miliar dan proporsinya mencapai 14%.
Kelima, Kazakhstan dengan nilai investasinya sebesar US$ 56,3% dan proporsinya 31%. Setelahnya disusul Taiwan, dengan nilai investasi US$ 48,7 miliar dan proporsi pangsanya mencapai 63%. Ini menjadi proporsi pangsa yang paling besar di antara 10 negara berkembang ini.
Indonesia sendiri di posisi sembilan, dengan nilai investasi sebesar US$ 36,7 miliar. Adapun share investasi dari total nilai proyeknya adalah 11% menjadi yang paling kecil di antara 10 negara berkembang ini.