ESDM Ungkap 6 Hambatan Pengembangan EBT di RI, Termasuk Perizinan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan setidaknya terdapat enam faktor utama yang menjadi tantangan dalam mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi, mengatakan tidak mudah untuk mengembangkan EBT di Indonesia. Bahkan, bauran energi baru terbarukan (EBT) sampai semester I 2023 baru mencapai 12,5%.
"Angka tersebut belum mencapai target yang telah ditetapkan yakni sebesar 17,9%," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Rabu (15/11).
Enam tantangan pengembangan EBT tersebut adalah:
1. Oversupply Listrik
Yudo mengatakan, tantangan yang pertama yaitu kebutuhan dan produksi yang tidak sesuai dengan nilai keekonomian. Apalagi saat ini terjadi oversupply atau kelebihan produksi listrik dalam negeri.
2. Perizinan
Yudo mengatakan, Kementerian ESDM membutuhkan berbagai perizinan untuk membangun EBT. Izin tersebut mulai dari izin sertifikasi dan konstruksi bendungan, izin pengisian awal waduk, izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dari gubernur, pemanfaatan air di kawasan konservasi, hingga persetujuan pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi, dan persetujuan lingkungan.
3. Bencana alam
Yudo mengatakan, tenaga EBT kerap menemukan kendala karena terjadi kerusakan komponen akibat bencana alam seperti banjir, proses revitalisasi, dan proses izin padam listrik.
“Adanya risiko eksplorasi panas bumi yang tinggi, juga menjadi hambatan dalam melakukan pembangunan EBT,” kata dia.
4. Pembiayaan
Pembangunan EBT membutuhkan dana yang cukup besar. Namun, saat ini PLN dan anak usahanya masih mengalami pendanaan untuk membangun proyek EBT. Mitra atau sponsor untuk proyek swasta pun masih minim.
“Maka saat ini kami sedang berusaha untuk mencari pembiayaan dari hibah atau pinjaman luar negeri,“ ujarnya.
5. Kondisi alam dan sosial
Yudo mengatakan kondisi alam dan sosial juga dinilai menjadi tantangan dalam mengembangkan EBT dalam negeri,
“Seperti adanya banjir, sedimentasi, dan debit air menurun, akses lokasi, geologi, dan sosial masyarakat itu yabg kerap kali menganggu,” katanya.
6. TKDN
Dia mengatakan, adanya pengadaan dan implementasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), keterlambatan penyusunan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) serta keterlambatan proses pengadaan juga menjadi tantangan dalam mengembangkan EBT di dalam negeri.
Pemanfaatan EBT Baru 4%
Sementara itu, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menuliskan sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT di Indonesia. Kendala yang kerap ditemui dalam implementasi pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) adalah kebutuhan lahan hingga lokasi dan perizinan.
Sementara hambatan pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih mengacu pada kebutuhan biaya investasi yang besar, dan waktu pengembangan proyek hingga 7-10 tahun, dihitung dari tahap eksplorasi sampai operasi.
Aspek lokasi dan perizinan juga menjadi rintangan dalam pengembangan PLTP, khususnya pada lokasi yang berada di kawasan hutan konservasi atau hutan lindung.
METI juga mencatat sejumlah kendala dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang memerlukan kesiapan sistem untuk mengakomodir masuknya setrum angin dan surya.
METI menghitung pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri masih tertahan di angka 4% atau sekira 147,4 gigawatt (GW) dari total potensi sebesar 3.685 GW.
Total potensi EBT dalam negeri berasal dari energi surya 3.295 GW, angin 155 GW, panas bumi 24 GW, bioenergi 57 GW, hidro 95 GW dan ombak laut 60 GW.