Indonesia Ditargetkan Ekspor Hidrogen Hijau Mulai 2030
Indonesia ditargetkan dapat memulai ekspor hidrogen hijau atau hidrogen rendah karbon mulai 2030. Hidrogen hijau diprediksi menjadi salah satu komoditas unggulan di masa mendatang.
Hal itu tercantum dalam kajian Strategi Hidrogen Nasional yang disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Berdasarkan kajian tersebut potensi hidrogen hijau Indonesia bisa mencapai 185.101 Gigawatt hours (GWh) pada 2060. Potensi terbesar ada di Nusa Tenggara mencapai 16.572 Gwh, Sumatera Selatan 14.384 GWh dan Riau 14.402 GWh.
"Indonesia juga memiliki potensi permintaan hidrogen yang besar, mencakup berbagai sektor, termasuk listrik, transportasi, industri, kilang, dan gas kota," tulis laporan Kementerian ESDM dikutip Kamis (4/1).
Kajian tersebut juga mengungkapkan Indonesia diproyeksi siap mengekspor hidrogen dan turunannya ke pasar global pada 2030.
Berikut tahapan-tahapan pengembangan pasar hidrogen di Indonesia, diselaraskan dengan peta jalan net zero emission (NZE) 2060 dan mempertimbangkan berbagai aspek seperti pasar domestik, target pasar, serta kesiapan teknologi:
Tahap 1 (Saat ini hingga 2030)
Pada tahap ini, Indonesia akan menyusun kebijakan pasar hingga regulasi teknis untuk mendukung perkembangan hidrogen. Uji coba proyek pilot komersial untuk memproduksi hidrogen juga mulai dilakukan.
Tahap 2 (2030 hingga 2040)
Pada tahap kedua, hidrogen siap dipasarkan secara komersial. Hidrogen alam mulai dimanfaatkan untuk sektor transportasi domestik di wilayah Jawa dan Kalimantan.
Pada 2030, uji coba penetrasi pasar internasional akan dimulai oleh para produsen hidrogen domestik untuk keperluan ekspor. Di tahap ini, Indonesia akan mulai berpartisipasi dalam perdagangan global hidrogen dan komoditas turunannya.
Tahap 3 (2040 dan selanjutnya)
Pada tahap ketiga energi terbarukan akan semakin mendominasi sistem energi Indonesia. Tentunya ini akan membuat hidrogen semakin terjangkau dan mendorong pematangan industri dan pasar hidrogen domestik.
Pada tahap ini, produksi dan kebutuhan pasar domestik dapat dipenuhi secara imbang dan Indonesia bahkan akan mulai mengekspor hidrogen pada 2040 dan setelahnya.
Berdasarkan pemodelan NZE yang dikembangkan oleh Kementerian ESDM, permintaan hidrogen rendah karbon dari berbagai sektor diproyeksikan akan tumbuh pada tahun 2031 - 2060.
Target Ekspor Pertamina NRE 2027
Sebelumnya, Chief Executive Officer Pertamina NRE, Dannif Danusaputro mengatakan Pertamina NRE menargetkan untuk menjadi pionir di pasar Asia Tenggara sebelum tahun 2027. Pertamina NRE menargetkan untuk mulai melakukan ekspor hidrogen bersih ke pasar internasional dan paralel menggarap pasar domestik pada tahun 2027 hingga 2030.
“Dan mulai tahun 2031 Pertamina NRE berambisi untuk menjadi eksportir hidrogen bersih dan memimpin ekonomi hidrogen di Indonesia,” kata Dannif dalam forum EBTKE Conex pada Rabu (12/7/2023).
Dia mengatakan, Indonesia memiliki lokasi yang strategis di dekat pusat permintaan dan potensi hub hidrogen regional yaitu Jepang, Korea, Singapura. Selain itu, Indonesia mempunyai potensi sumber daya energi terbarukan yang besar dan belum termanfaatkan.
Sebagai perbandingan, Australia diperkirakan akan dapat memproduksi hidrogen pada harga US$ 1,7 per kg hidrogen pada 2030, sedangkan konversi ke amonia dan biaya pengiriman dari Australia kemungkinan akan mencapai US$ 2-3 per kg. Oleh karena itu, total biaya impor hidrogen dari Australia diperkirakan sekitar US$ 3,7-4,7 per kg.
Negara-negara seperti Chili menargetkan untuk menjual hidrogen pada harga sekitar US$ 1,5 per kg pada 2030. Mempertimbangkan hal tersebut, apabila Indonesia berencana untuk mengekspor hidrogen, Indonesia harus dapat bersaing dengan negara-negara lain yang dapat menghasilkan hidrogen rendah karbon yang lebih murah.
Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), komitmen investasi terbesar di skala global untuk pengembangan energi hidrogen berasal dari Jerman, yakni mencapai US$10,3 miliar pada 2021.
Sedangkan di kawasan Asia, komitmen investasi paling besarnya berasal dari Jepang, yakni US$6,5 miliar.