Wacana Pemerintah Turunkan Target EBT Berdampak Negatif pada Investor
Rencana pemerintah menurunkan target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) bisa berdampak negatif pada kepercayaan investor. Alih-alih menurunkan target EBT, pemerintah seharusnya mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini.
Sebagai informasi, pemerintah berencanamerevisi target energi terbarukan dari 25% pada 2025 menjadi 17-19% pada 2025. Hal itu tertuang dalam draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“Karena, walau masih dalam draf RPP KEN, indikasi penurunan target dapat memberikan dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia,” kata Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, dalam keterangan tertulis, Senin (29/1).
Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, mengatakan revisi target bertentangan dengan netral karbon 2060 dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca 29-31%. Pasalnya, Indonesia seharusnya meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45% pada 2030 untuk mencapai kedua target ini.
“Penurunan target bauran energi terbarukan menghambat upaya mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini dapat berdampak negatif pada upaya transisi energi di Indonesia, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Arif.
Selain menurunkan target ET, Arif mengatakan, draf revisi KEN juga tetap ngotot memasukkan sejumlah solusi palsu dan semu dalam strategi transisi energi.
Solusi palsu tersebut di antaranya pemanfaatan biodiesel berbasis sawit hingga menyentuh campuran 60% (B60), pemasangan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, hingga pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW).
Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law, Grita Anindarini, menuturkan bahwa revisi PP tentang KEN ini seharusnya dijadikan peluang untuk memastikan target bauran energi nasional sejalan dengan target iklim yang aman. Karenanya, revisi yang disusun seharusnya justru menetapkan target ketat pengakhiran ketergantungan pada energi fosil dan mengutamakan pengembangan energi terbarukan.
“Memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak asasi manusia berupa risiko toksik serius dan sangat sulit dipulihkan. Hal ini membawa risiko terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan,” ujar Grita.
Risiko lain yang dihadapi dengan diturunkannya target adalah berkurangnya potensi pekerjaan hijau (green jobs).
Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani, memperkirakan prospek ketersediaan lapangan kerja bidang teknik energi terbarukan dapat mencapai 432 ribu pada 2030, jika pemerintah konsisten dengan target 23% pada 2025.
Jumlah itu berpotensi meningkat menjadi 31% pada 2050. Potensi lapangan kerja ini tercatat 10 kali lipat dari 2019 dan melebihi jumlah tenaga kerja di sektor energi fosil pada saat ini.
“Ketika target ini diturunkan, maka prospek penciptaan green jobs dari sektor energi terbarukan akan ikut menurun. Padahal potensi green jobs yang meningkat akan berkontribusi pada pencapaian target Indonesia mendapatkan investasi untuk pengembangan industri hijau, menjawab kebutuhan pekerjaan di masa depan, dan dukungan masyarakat pada energi terbarukan,” tutur Verena.