Tekan Transisi EBT, Kebijakan DMO Sebabkan RI Ketergantungan Batu Bara
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batubara sekitar 60 sampai 70 persen. Ketergantungan Indonesia terhadap batu bara didukung oleh sejumlah kebijakan pemerintah.
Menurut Fabby, kebijakan tersebut adalah Domestic Market Obligation (DMO) untuk menjaga biaya listrik agar tetap terjangkau. Namun, kebijakan tersebut menciptakan ketergantungan dan menyulitkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.
"Perubahan kebijakan ini diperlukan untuk memberikan dorongan agar PLN beralih dari batubara ke energi terbarukan," ujarnya dikutip Rabu (5/6).
Menurut Fabby, kebijakan pemerintah perlu menjembatani implikasi negatif jangka pendek yang muncul ke pemangku kepentingan seperti PLN maupun konsumen listrik.
Berdasarkan hal tersebut, IESR mengeluarjan laporan yang menilai PLTU mana yang menjadi prioritas diakhiri operasinya secara dini sejalan dengan jalur pembatasan suhu bumi di bawah 1,5°C. Studi dilakukan dengan menggabungkan global integrated assessment model (GCAM), model sistem tenaga listrik (PLEXOS), dan metode analisis dari bawah ke atas (bottom-up).
“Studi ini menganalisis pembangkit listrik dalam jaringan (on grid) dan di luar jaringan (off grid) PLN yang menggunakan beberapa strategi untuk mengurangi kapasitas PLTU, operasi PLTU yang fleksibel, pemensiunan dini, pembakaran biomassa, substitusi energi terbarukan, pembatalan konstruksi, koneksi jaringan, dan penyimpanan karbon," ujarnya.
Dia mengatakan, Studi ini memberikan strategi bottom up coal phase down yaitu mengusulkan strategi prioritas untuk tiap unit PLTU berdasarkan karakteristik dan kesesuaian perannpembangkit listrik tersebut untuk kebutuhan listrik di sistem masing-masing. Rekomendasi strategi ini dapat melengkapi jalur JETP yang sudah ada saat ini.
Direktur CGS, Nate Hulman, mengungkapkan bahwa acara peluncuran kajian ini menjadi platform untuk mendiskusikan cara Indonesia dapat mengimplementasikan transisi energi bersih dan berkontribusi terhadap target global 1,5 derajat Celcius.
“Penelitian baru kami menawarkan strategi yang ambisius dan transformatif yang sangat penting untuk memberikan kerangka kerja holistik baru agar strategi transisi selaras dengan target 1,5°C dengan mempertimbangkan tujuan nasional,” ujar Nate Hulman.
Laporan 1.5°C-Aligned Coal Power Transition Pathways in Indonesia menemukan antara tahun 2025 dan 2050, penggunaan co-firing biomassa dengan sumber berkelanjutan pada 80 unit PLTU batubara (13 GW) off-grid dapat berkontribusi terhadap hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif.
Sementara itu, pengakhiran operasional secara dini PLTU batubara dapat diterapkan pada 105 unit PLTU (25 GW). Langkah itu dapat berkontribusi terhadap hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik on-grid.
“Pengurangan emisi di sistem kelistrikan PLN perlu lebih digenjot untuk mengimbangi pertumbuhan emisi batubara off-grid/captive dalam waktu dekat, sehingga mitigasi di sistem kelistrikan PLN berkontribusi terhadap 68 persen pengurangan emisi kumulatif hingga tahun 2050,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR.
Dia mengatakan, percepatan transisi energi batubara memerlukan transformasi yang signifikan pada sistem ketenagalistrikan Indonesia. Mengintegrasikan sumber energi terbarukan yang semakin meningkat akan membutuhkan teknologi penyimpanan baru, perluasan infrastruktur jaringan listrik, dan operasi yang stabil dan fleksibel.
Analisis tersebut mengungkapkan bahwa biaya pembangkitan listrik (biaya operasi pembangkit dan bahan bakar) turun hingga 21 persen pada tahun 2030 dan 75 persen pada tahun 2050, serta mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan hingga 50 persen pada tahun 2040. Di sisi lain, terdapat kebutuhan investasi tambahan untuk implementasi dari strategi transisi.
“Investasi yang signifikan dalam teknologi penyimpanan baru, perluasan jaringan listrik, serta operasi yang stabil dan fleksibel sangat penting untuk membangun sistem tenaga listrik yang tangguh di Indonesia yang berpusat pada energi terbarukan,” ujar Maria A. Borrero, CGS Research Associate dan penulis utama laporan tersebut.