Indef: Bauran EBT Indonesia Dapat Tercapai Tanpa Power Wheeling
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra P.G Talatov, mengatakan bauran energi Indonesia dapat tercapai, tanpa didorong skema pemanfaatan jaringan bersama atau power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET)
Menurut Abra, salah satu cara mencapai target bauran energi tersebut adalah dengan menjalankan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030. Pasalnya, RUPTL tersebut menetapkan target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," ujar Abra dalam webinar "Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET", Kamis (1/8).
Abra mengatakan, penerapan skema power wheeling akan berisiko memberikan beban tambahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena skema power wheeling bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten. Dengan begitu, akan menimbulkan biaya tambahan untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem.
Menurutnya, setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun biaya take or pay ditambah dengan biaya pencadangan yang akan membebani keuangan negara.
"Artinya jika asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW- 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp 165-192 triliun," ujarnya.
Penerapan Power Wheeling Tidak Relevan
Abra menyebut, penerapan skema power wheeling tidak relevan dengan kondisi oversupply listrik yang terus melonjak. Pasalnya, saat ini terjadi disparitas yang jauh antara pasokan dan permintaan listrik. Pada 2022 kondisi oversupply listrik diproyeksi menyentuh angka 6-7 GW.
Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW.
Dia mengatakan, skema power wheeling juga akan meningkatkan risiko oversupply listrik akibat tergerusnya permintaan listrik PLN baik permintaan organik maupun permintaan tidak organik.
"Risiko melonjaknya oversupply listrik sebagai implikasi skema power wheeling selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payers melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema Take or Pay bisa mencapai Rp 3 triliun per GW," ungkapnya.
Power Wheeling Diajukan Masuk dalam RUU EBET
Saat ini, pemerintah mengebut penyelesaian draf Rancangan Undang-undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) yang tengah digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan RUU EBET tersebut diharapkan rampung tahun sebelum pergantian presiden yang baru.
"Kita lagi dorong terus, mudah-mudahan clear lah (pembahasannya). Ini rapat terus supaya tahun ini bisa diundangkan dan turunan regulasinya dipercepat," kata Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Hendra Iswahyudi, di Jakarta, Rabu (3/7).
Dia mengatakan, saat ini masih ada satu pembahasan yang belum mendapatkan titik temu antara Kementerian ESDM dan DPR yaitu pemanfaatan bersama jaringan listrik atau power wheeling. Hal itu diharapkan dapat mengoptimalkan utilitas jaringan sehingga bisa mendorong penyaluran listrik EBT.
Hendra mengatakan, Kementerian ESDM mendorong power wheeling ada di RUU EBET. Hal itu terutama untuk melayani perusahaan yang sepenuhnya ingin menggunakan energi terbarukan secara penuh.
Dalam kesempatan itu, Hendra juga menegaskan jika bauran energi baru terbarukan (RUU EBET) belum berubah yaitu sebesar 23 persen pada 2025. Dia mengakui target tersebut sulit dicapai karena realisasi bauran EBT hingga akhir 2023 baru mencapai 13 persen.
Namun, pemerintah berupaya untuk mengejar target bauran tersebut. Menurut laporan Kementerian ESDM, batu bara dan minyak bumi masih mendominasi bauran energi Indonesia.
Pada 2023, bauran batu bara dalam energi primer nasional mencapai 40,46%, dan minyak bumi 30,18%. Sementara bauran gas bumi 16,28%, dan energi baru terbarukan (EBT) paling kecil, yakni 13,09%. Kementerian ESDM mencatat, bauran EBT sebenarnya ditargetkan naik menjadi 17,9% pada 2023. Namun, target ini belum berhasil tercapai.
"Peningkatan (bauran EBT) ada, tapi belum signifikan," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam konferensi pers, Senin (15/1).
"Perlu upaya keras untuk bisa mendekati target capaian (bauran EBT). Tahun 2025 itu kita targetkan 23% bauran EBT," kata Arifin.