Isu Desa Hilang hingga Gempa Membayangi Pembangunan PLTP dan PLTA
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Indonesia kerap dibayangi isu negatif. Hal ini menyebabkan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan tersebut rawan menghadapi konflik sosial.
Koordinator Peneliti Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Massita Ayu, mengatakan pembangunan PLTA kerap dibayangi isu penurunan air tanah dan hilangnya desa akibat pembangunan bendungan. Sedangkan pembangunan PLTP kerap dibarengi kekhawatiran warga terkait kemungkinan gempa bumi kecil yang dapat terjadi akibat aktivitas pengeboran
Menurut Massita, kondisi tersebut menyebabkan konflik di masyarakat. Karena itu, penting bagi industri dan pemerintah untuk memberikan sosialisasi pada masyarakat mengenai pembangunan pembangkit EBT.
"Masyarakat juga perlu diberi pemahaman. Hal-hal yang membuat mereka ketakutan, harusnya sudah termitigasi dengan baik," ujarnya dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (31/10).
Dia mengatakan corporate social responsibility (CSR) menjadi salah satu sarana untuk melibatkan masyarakat lebih aktif dalam proyek-proyek energi terbarukan. Perusahaan diharapkan untuk tidak hanya menginvestasikan dana CSR, tetapi juga mendengarkan aspirasi dan kekhawatiran masyarakat.
Dengan cara ini, diharapkan hubungan antara industri energi dan masyarakat dapat terjalin dengan lebih harmonis, serta menciptakan rasa aman dan saling percaya. "Jadi masyarakat harus lebih dilibatkan aktif dari dana-dana CSR," ucapnya.
Berpotensi Kehilangan Investasi
Massita mengatakan Indonesia perlu menggenjot pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, akses EBT kini menjadi pertimbangan perusahaan multinasional untuk berinvestasi di Indonesia. Bahkan perusahaan global bisa membatalkan investasinya jika sulit mengakses EBT di Indonesia.
Dia mengatakan pengembangan EBT di Indonesia sangat diperlukan di tengah upaya perusahaan multinasional dalam memenuhi permintaan pasar ekspor yang mewajibkan penggunaan energi bersih.
"Jadi potensi besar karena sekarang di industri, perusahaan multinasional banyak yang tergabung dalam RE (renewable energy) 100. Dimana industri yang berada dibawah mereka harus menggunakan energi bersih harus 100 persen itu," ujar Ayu.
Ayu mengatakan terdapat beberapa perusahaan atau industri besar dunia yang gagal melakukan investasi di Indonesia karena tidak tersedianya listrik dari pembangkit EBT. Selain itu, perusahaan yang akan membangun pabrik di kawasan industri juga memaksa tersedianya energi bersih untuk operasional pabriknya.
"Kalau tidak bisa, mereka mengancam akan keluar dari Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena penggunaan energi bersih bukan lagi menjadi pemanis bagi industri yang mengirim produknya ke beberapa negara di dunia. Industri yang tidak menggunakan energi bersih berpotensi menghadapi penolakan ekspor oleh beberapa negara di Eropa.
"Beberapa dari mereka, energi bersih adalah hidup dan mati karena kalau mereka tidak bisa 100 persen energi terbarukan, mereka tidak bisa ekspor ke negara tertentu," ucapnya.