IESR: Target Penambahan Kapasitas EBT Harus Diiringi Upaya Konkret
Institute for Essential Services Reform (IESR) meminta pemerintah melakukan upaya-upaya konkret untuk menambah kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT), bukan hanya menyampaikan target yang tinggi di forum internasional. Pernyataan IESR ini disampaikan untuk merespons rencana pemerintah membangun 75 Gigawatt (GW) pembangkit EBT hingga 2040.
Sebagaimana diketahui, Ketua Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Conference of the Parties COP29, Hashim S Djojohadikusumo, menyatakan pemerintah Indonesia berencana membangun 100 Gigawatt (GW) pembangkit listrik hingga 2040. Sekitar 75% dari kapasitas tersebut akan berasal dari energi baru terbarukan. Kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkit listrik itu mencapai US$235 miliar atau Rp3.710 triliun.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, rencana tersebut belum sepenuhnya selaras dengan target Persetujuan Paris dalam menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C yang menuntut transisi energi terbarukan yang lebih agresif.
Untuk itu, ia meminta agar pemerintah mampu mengimplementasikan rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia yang masih jauh dari target. "Walaupun rencana besar sering kali diumumkan, IESR mencatat implementasinya masih jauh dari target yang dicanangkan. Ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Kamis (14/11).
Fabby meminta, pemerintah tidak hanya menyampaikan target fantastis di forum international, tetapi juga memastikan implementasi serta upaya konkret dalam menyingkirkan berbagai hambatan dan tantangan. "Dengan demikian, target yang ditetapkan dapat benar-benat tercapai dan bukan sekadar wacana," ujarnya.
Pengembangan Energi Nuklir
Di COP29, Hashim juga menyebutkan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi nuklir akan menyumbang kapasitas 5 GW. Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir harus memperhatikan kesiapan institusi, kesiapan dan keandalan teknologi, biaya investasi, biaya sosial, serta risiko lainnya.
Berdasarkan perhitungan IESR, dengan elektrifikasi yang masif dan akselerasi energi terbarukan yang lebih cepat dibangun, murah, dan rendah risiko keterlambatan, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 mengandalkan surya dan angin.
"Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045," ujar Deon.
Deon meminta pemerintah menyusun strategi transisi energi yang lebih komprehensif. Strategi ini tidak hanya sekadar menyampaikan target besar, tetapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk memastikan PLN dan pihak terkait mampu memenuhi target energi terbarukan yang telah ditetapkan.
Dalam hal pendanaan, investasi sebesar US$235 miliar harus dikelola dengan baik untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan. "IESR juga mendorong agar sumber pendanaan ini diarahkan pada proyek-proyek energi terbarukan yang jelas dan berpotensi memberikan dampak nyata dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia," ucapnya.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: