Bos IBC: 45% Bahan Baku Baterai Kendaraan Listrik dari RI, tapi Diolah di Cina

Ringkasan
- OJK menekankan perlunya batas atas emisi per industri untuk meningkatkan permintaan kredit karbon di Bursa Karbon Indonesia, dengan mencontoh kebijakan serupa dari luar negeri yang telah meningkatkan permintaan bursa karbon di negara mereka.
- Penerapan aturan pajak karbon oleh pemerintah, yang mencakup insentif dan disinsentif, dianggap penting untuk mendorong permintaan terhadap kredit karbon, tanpa ini, tidak akan ada dorongan kuat untuk berinvestasi dalam kredit karbon.
- Sejak peluncuran Bursa Karbon dari 26 September 2023 hingga 27 September 2024, telah tercatat nilai perdagangan mencapai Rp37,06 miliar dengan total volume perdagangan karbon sebesar 613.894 tCO2e, menandakan prospek positif dari implementasi bursa karbon di Indonesia.

Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC), Toto Nugroho, menyampaikan bahwa hampir 40–45 persen bahan baku baterai kendaraan listrik (EV) di dunia berasal dari Indonesia.
“Secara garis besar, itu kemungkinan hampir 40–45 persen kendaraan EV, mobil EV yang ada di dunia, asal (bahan baku) baterainya sebenarnya dari Indonesia,” kata Toto dalam rapat dengar pendapat (RDP) terkait perkembangan industri baterai EV Indonesia dengan Komisi XII di Senayan, Jakarta, Senin (18/2).
Toto menyampaikan bahwa dari Indonesia, material untuk membuat baterai EV tersebut dikirim ke Cina. Setelah dikirim ke Cina, bahan baku tersebut lantas diolah untuk menjadi baterai EV lalu didistribusikan ke Amerika Serikat maupun ke Eropa.
“Jadi, sebenarnya, sumbernya ada di Indonesia, tetapi proses hilirisasinya tidak terjadi keseluruhannya di Indonesia. Saya rasa, ini suatu hal yang sangat strategis buat Indonesia,” ucap Toto.
Saat ini, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China mengakibatkan Cina agresif untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi baterai kendaraan listrik (EV). Toto menjelaskan bahwa agresivitas China berusaha masuk ke Indonesia disebabkan oleh pemerintah Amerika Serikat yang memberikan tarif cukup signifikan terhadap produk-produk yang datang dari Cina.
Untuk menghindari tarif tersebut, Cina berupaya untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi baterai kendaraan listrik (EV) maupun baterai storage ke Amerika Serikat.
“Jadi contohnya, kalau dari Cina, itu tarifnya ke Amerika Serikat hampir 40 persen untuk baterainya, tapi kalau di Indonesia, kemungkinan hanya 10 persen,” ucap dia.
Menurut Toto, keunggulan tersebutlah yang dimiliki oleh Indonesia untuk menjadi basis produksi baterai, bukan hanya untuk Indonesia, melainkan untuk kebutuhan global termasuk Amerika Serikat.
“Ini suatu keunggulan yang kita dapatkan kalau kita menjadi basis produksi baterai,” kata dia.