Realisasi Investasi EBT Baru 54%, Target Tahun Ini Bakal Meleset
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi investasi energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) hingga September mencapai US$ 1,12 miliar atau Rp 15,72 triliun. Angka ini mencapai 54% dari target yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebesar US$ 2,04 miliar atau Rp 28,76 triliun .
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana memperkirakan target investasi di sektor EBTKE pada tahun ini tidak akan tercapai. Mengingat terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara target dan realisasi investasi.
Dadan mengatakan kondisi ini imbas dari pandemi Covid-19. Sehingga berpengaruh besar terhadap jadwal pelaksanaan proyek EBT. "Kita kemungkinan besar tidak akan mencapai target pada 2021," kata Dadan dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Triwulan III 2021 dan Isu-Isu Terkini Subsektor EBTKE, Jumat (22/10).
Meski begitu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor EBTKE dari bidang panas bumi hingga September 2021 telah mencapai Rp 1,63 triliun. Angka ini sudah melebihi target yang ditetapkan pemerintah tahun ini sebesar Rp 1,43 triliun. Adapun berdasarkan prognosa hingga akhir tahun ini PNBP ditetapkan sebesar Rp 1,7 triliun.
"PNBP Panas Bumi sebagian besar (97%) berasal dari Wilayah Kerja Panas Bumi Eksisting berupa Setoran Bagian Pemerintah, sedangkan pemegang Izin Panas Bumi (IPB) berkontribusi 3% untuk PNBP Panas Bumi," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyebut daya tarik investasi negara ini untuk energi bersih masih rendah. Indonesia bukan tujuan utama investasi energi baru terbarukan atau EBT di Asia Tenggara.
“Dibandingkan Filipina, Vietnam, dan Thailand, kita lebih rendah,” ujar Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas Yahya Rachmana Hidayat dalam Katadata Future Energy Tech and Innovation Forum 2021, Selasa (9/3).
Berdasarkan Indeks Daya Tarik Negara Energi Terbarukan (RECAI) yang dikeluarkan EY pada November tahun lalu, Indonesia tidak termasuk dalam daftar 40 negara yang potensial untuk investasi EBT. Filipina, Vietnam, dan Thailand masuk dalam daftar tersebut. Di posisi puncak adalah Amerika Serikat.
Apabila dilihat dari sisi pertumbuhan investasinya, Indonesia cenderung mengalami penurunan. Dari 4,18% pada 2016 menjadi 3,6% di 2018. “Ini karena regulasinya belum menarik para investor,” kata Yahya.
Tantangan pengembangan energi terbarukan di negara ini juga banyak. Untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS, misalnya, masih membutuhkan banyak pembiayaan. Harga panel surya skala kecil untuk PLTS Atap tak berubah sejak 2016, berkisar Rp 13 juta hingga Rp 18 juta per kilowatt peak (kWp).
Proses pembiayaan pembangkit itu juga sulit tercapai. Salah satu masalahnya karena skala proyek yang kecil. Untuk mendapatkan pendanaan murah dari lembaga keuangan pun menjadi terbatas. “Fasilitas pendanaan murah untuk pembangunan PLTS Atap belum banyak tersedia,” ujarnya.