Penerbitan Obligasi Hijau Diramal Tembus Rp 14.000 Triliun pada 2022
Penerbitan obligasi hijau secara global dalam setahun diprediksi tembus US$ 1 triliun atau lebih dari Rp 14.200 triliun pada akhir 2022 atau awal 2023. Obligasi hijau menarik perhatian karena untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon membutuhkan investasi triliunan dolar baik dari sektor publik maupun swasta.
Investasi US$ 1 triliun obligasi hijau porsinya masih relatif kecil dari keseluruhan pasar utang. Namun diperkirakan akan terus naik secara signifikan seiring tekanan yang semakin besar kepada perusahaan untuk meningkatkan aktivitas terkait lingkungan, sosial dan tata kelola (Environment, Social, Governance/ESG).
Angka US$ 1 triliun yang diperkirakan akan tercapai pada akhir 2022 atau 2023 berdasarkan hasil survei yang dilakukan The Climate Bonds Initiative, terhadap 353 responden dari perusahaan, pemilik aset dan manajer investasi, bank pembangunan dan regulator, serta perusahaan pemeringakat dan verifikasi global.
“Tonggak bersejarah US$ 1 triliun (penerbitan obligasi hijau) yang ditunggu-tunggu akan segera menjadi kenyataan, antara pada akhir 2022 atau pada 2023,” kata Kepala Eksekutif the Climate Bonds Initiative, Sean Kidney, seperti dikutip dari Reuters pada Jumat (29/10).
Climate Bonds Initiative, lembaga nirlaba yang mempromosikan investasi rendah karbon berbasis di Inggris, mengatakan bahwa penerbitan obligasi hijau kian populer untuk membiayai proyek-proyek rendah karbon di seluruh dunia.
Jumlah penerbitan obligasi hijau tahun depan naik dua kali lipat dari tahun ini yang diperkirakan mencapai US$ 500 miliar atau Rp 7.100 triliun. Sedangkan pada 2019 penerbitan obligasi hijau mencapai US$ 297 miliar.
Meski demikian Kidney menilai jumlah tersebut masih belum cukup untuk mengatasi krisis iklim yang terus memburuk. Menurut dia, para pembuat kebijakan dunia harus menetapkan target lebih tinggi, setidaknya US$ 5 triliun atau lebih Rp 71.000 triliun untuk mengatasi krisis iklim global.
Berdasarkan hasil survei, sekitar 25% responden, meyakini investasi obligasi hijau akan melewati US$ 1 triliun pada kuartal keempat 2022. Sekitar 13% responden memperkirakan tonggak US$ 1 triliun akan tercapai pada kuartal keempat tahun 2023.
Kemudian 12% responden mengatakan tonggak bersejarah tersebut akan tercapai pada kuartal II 2023, dan 10% responden memperkirakan tercapai pada kuartal III 2023. Sisanya berpendapat bahwa pencapaian tersebut akan tercapai lebih lama lagi.
Proyeksi penerbitan obligasi hijau oleh Climate Bonds Initiative ini jauh lebih besar dari yang diprediksi oleh anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC), bersama Amundi Asset Management yang hanya US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.400 triliun pada 2023.
IFC dan Amundi tengah berupaya menciptakan pasar obligasi hijau terbesar di dunia, salah satunya dengan menargetkan negara berkembang dengan mendorong emiten menerbitkan obligasi hijau ini dengan tawaran bunga rendah.
“Penerbitan obligasi hijau di negara berkembang mempunyai pasar yang kuat,” kata Yerlan Syzdykov, Kepala Amundi Asset Management, dikutip dari Bloomberg, Selasa (20/4).
Tren Investasi Hijau/ESG di Indonesia
Investasi berbasis prinsip ESG juga menunjukkan peningkatan yang signifikan di Indonesia. Sejak pertama kali diluncurkan pada 2014, jumlah produk dan besaran dana yang dikelola reksa dana dan ETF bertema ESG mengalami peningkatan drastis.
Berdasar data yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2020 terdapat 14 produk reksa dana dan ETF berbasis ESG dengan nilai dana kelola (asset under management/AUM) mencapai Rp 3,062 triliun.
Angka ini meningkat drastis dibanding setahun sebelumnya, yaitu sekitar Rp 1,7 triliun dengan 10 jumlah produk. Tren naik ini merupakan kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2018 dana kelolaan bertema ESG mencapai Rp 730 miliar (7 produk), 2017 Rp 253 miliar (2 produk), 2016 Rp 42 miliar (2 produk), dan 2015 Rp 36 miliar (1 produk). Simak databoks berikut:
Indonesia bahkan meraih penghargaan sebagai penerbit sukuk hijau terbesar dunia pada 2020, yakni mencapai US$ 750 juta atau lebih dari Rp 10,5 triliun.
"Ini merupakan pengakuan publik kepada semua organisasi dan pemerintah yang berada di garis depan dalam melakukan capital shifting menuju solusi rendah karbon dan transisi yang lebih besar ke nol-bersih," ujar CEO Climate Bonds Initiative Sean Kidney beberapa waktu lalu, Selasa (27/4).