Pemerintah Diminta Cermati Skema Pendanaan Transisi Energi JETP
Pemerintah tengah menyiapkan rencana investasi dan kebijakan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang rencananya akan diterbitkan hari ini, Rabu (16/8).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta pemerintah dan semua pihak terkait untuk mencermati skema pendanaan JETP. Sebab pilihan pembiayaannya tidak mencantumkan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
“Kalau kita lihat secara detail dari teman-teman di Sekretariat JETP, pilihan pembiayaan secara tradisional hanya ada tiga jenis, pertama hutang, kedua ekuitas atau modal langsung, dan ketiga APBN atau fiskal, jadi APBD atau APBDes tidak dicantumkan di situ,” ujarnya dalam diskusi daring "Kemana Uang JETP Harus Dialirkan?", Selasa (15/8).
Untuk diketahui, Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi melalui JETP senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun dari negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG), untuk 3-5 tahun ke depan.
Negara-negara yang tergabung dalam IPG di antaranya Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Norwegia, Italia, serta Inggris dan Irlandia. Kemitraan ini juga termasuk Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan dengan skema pembiayaan JETP tersebut secara tidak langsung sudah dikunci saat perancangan CIPP. Namun, sampai saat ini belum ada informasi terkait peluncuran CIPP tersebut.
“Kondisi itu sudah mengunci arsitektur pendanaan, jadi seolah-olah bahwa modelnya akan lebih banyak mengandalkan dana-dana pinjaman, belum lagi kemudian nanti ada besaran bunganya,” kata dia.
Dengan demikian, menurut dia Indonesia sebenarnya tidak perlu menggunakan dana JETP, apalagi jika bunga yang diberikan hampir sama dengan bunga pinjaman seperti yang ada di pasar. Selain itu, ia khawatir lantaran adanya pendanaan JETP ini justru akan menjadi beban baru bagi keuangan negara.
"Kalau begitu sama saja kan, artinya ini akan menjadi tambahan beban baru bagi keuangan negara, kemudian secara struktur ekonomi tidak terjadi perbedaan," ujarnya.
Disisi lain, jika pendanaan JETP tetap dilakukan, ia prediksi ketimpangan semakin melebar lantaran bukan komunitas yang mengendalikan transisi energinya. Pasalnya, pendanaan JETP disinyalir hanya dialirkan kepada perusahaan besar yang sebenarnya sudah mendapatkan keuntungan dari sektor energi batu bara atau energi fosil.
Namun, tidak ada satupun informasi dari pemerintah bahwa ada porsi pendanaan dari JETP yang akan diberikan ke komunitas untuk mendukung pembangunan listrik berbasis energi terbarukan.
Oleh sebab itu, pendanaan dari JETP seharusnya lebih diprioritaskan untuk komunitas ketimbang pebisnis konglomerat di bidang energi yang perusahaannya sudah terkenal dan ternama.
Terlebih, menurut dia sifat pendanaan JETP di Indonesia terlalu top down bukan bottom up. Artinya masyarakat atau komunitas tidak pernah ditanya terkait kebutuhannya. Pemerintah hanya fokus mengalirkan pendanaan tersebut kepada perusahaan besar.
"Semua keputusannya seolah-olah hanya keputusan dari pemerintah pusat, keputusan dari negara kreditur, dari perbankan, ini ada beberapa konsep yang harus ditata dari awal soal masalah JETP," kata Bhima.
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara. Sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.
Proses negosiasi yang sedang dilakukan Indonesia merupakan bagian dari ekspansi JETP pada 2022. Program ini juga menyasar India, Vietnam, dan Senegal.
Sebelumnya Afrika Selatan telah diumumkan sebagai penerima pertama program ini. Negara tersebut menerima pendanaan awal sebesar US$8,5 miliar melalui berbagai mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, investasi, dan instrumen berbagi risiko.
Uni Eropa dalam pernyataannya mengatakan, program JETP untuk Afrika Selatan akan dilakukan dengan pendekatan yang adil. Ini artinya mereka akan memastikan agar orang-orang yang paling terdampak, seperti para pekerja, tidak terlupakan dalam upaya untuk meninggalkan batu bara.
Indonesia juga mengharapkan mekanisme pendanaan yang mirip, yaitu lewat hibah, pinjaman lunak, dan investasi. “Saya yakin melalui JETP, Indonesia bisa mencapai national determined contributions (NDC) yang lebih ambisius,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kemenko Marves, Nani Hendiarti.