Ingin Jadi Penyelenggara Bursa Karbon? Siapkan Modal Rp 100 Miliar
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan pelaku usaha memiliki modal disetor minimal Rp 100 miliar jika ingin menjadi penyelenggara bursa karbon.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) no. 14/2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Dalam beleid itu, OJK membuka peluang bagi pelaku usaha untuk mengajukan izin sebagai penyelenggara bursa karbon. Selain modal minimal Rp 100 miliar, OJK juga melarang modal tersebut berasal dari pinjaman.
Selain mengatur soal modal disetor, POJK ini juga mewajibkan penyelenggara bursa karbon merupakan badan hukum di Tanah Air yang sahamnya juga dimiliki oleh warga negara Indonesia. Kepemilikan saham oleh badan hukum asing hanya diperbolehkan maksimal 20%.
Penyelenggara bursa karbon juga wajib memiliki minimal masing-masing dua orang direksi dan komisaris. Salah satu direksi juga harus berpengalaman di bidang perubahan iklim dan pasar karbon.
“Anggota Direksi Penyelenggara Bursa Karbon [sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang] merangkap jabatan pada perusahaan lain,” sebagaimana tertulis di POJK tersebut.
Bursa karbon merupakan produk turunan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Beleid itu menetapkan NEK memiliki empat pilar yakni perdagangan karbon, pungutan atas karbon alias pajak, result-based payment (RBP) dan mekanisme lain.
Sebelumnya, Direktur Pengawasan Aset Digital OJK Lufaldy Ernanda mengatakan skema perdagangan karbon melalui bursa hanya akan fokus pada dua skema yakni perdagangan emisi dan pencadangan emisi (offset). Adapun RBP dan pajak karbon diatur dalam mekanisme lain di luar bursa.
Skema pertama yakni perdagangan emisi dilakukan dengan menetapkan batas atas atau kuota emisi bagi pelaku usaha. Kebijakan ini sudah mulai diterapkan oleh Kementerian ESDM melalui penetapan Persetujuan Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) bagi PLTU batu bara.
Dalam skema ini, Kementerian ESDM memberikan alokasi emisi yang boleh dihasilkan oleh PLTU. Jika emisinya lebih rendah dari kuota yang diberikan, maka PLTU tersebut bisa menjual kuota emisi tersebut melalui bursa karbon. Sebaliknya, jika ada PLTU menghasilkan emisi melebihi kuota, maka wajib membelinya dari PLTU yang memiliki surplus emisi.
Skema ini sejatinya bukan hal baru dalam praktik perdagangan karbon. Dunia internasional mengenalnya dengan istilah cap and trade. Secara sederhana, otoritas akan menetapkan batas emisi tertentu, sementara pelaku usaha yang memiliki kelebihan kuota bisa menjualnya di bursa. Di banyak negara, penetapan kuota emisi bahkan dibuat semakin rendah setiap tahun.
Sementara itu, skema kedua yakni offset dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Offset atau pencadangan karbon berarti pelaku usaha menurunkan emisinya dengan mengkompensasi emisi di tempat lain. Biasanya dengan membeli sertifikat karbon yang dihasilkan dari proyek restorasi ekosistem berbasis hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan kredit karbon juga dihasilkan dari proyek energi terbarukan.
Baik dalam skema offset maupun PTBAE PU,, penjual di bursa karbon wajib mendaftarkan proyeknya di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Ini merupakan sistem khusus besutan KLHK yang dipakai untuk pengelolaan, penyediaan data dan informasi, serta verifikasi proyek-proyek iklim di Indonesia.
Mekanismenya, pemilik proyek harus mendaftarkan programnya di SRN PPI untuk kemudian dilakukan verifikasi dan validasi. Selanjutnya, pengembang proyek akan memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi gas rumah kaca (SPE GRK). SPE inilah yang nantinya bisa diperdagangkan melalui bursa karbon.
“Penerbitan SPE hanya bisa dilakukan melalui SRN PPI. Ini wajib bagi seluruh peserta perdagangan karbon di Indonesia,” kata Wahyu Marjaka, Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional KLHK.