Perang Dagang AS dan Cina Kembali Memuncak Imbas Industri Hijau

Image title
12 Juli 2024, 19:33
Perang Dagang Cina Amerika
Lightwise/123RF.com
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina kembali memuncak, salah satunya imbas produk industri hijau Cina yang membanjiri negara Paman Sam tersebut. AS pun mulai memasang berbagai kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri.

Sejumlah produksi industri hijau Cina memiliki kapasitas yang berlebih seperti industri panel surya dan kendaraan listrik. Kelebihan kapasitas tersebut membuat produk-produk Cina membanjiri negara-negara lain, termasuk AS.

Pemerintah AS telah menaikkan bea masuk impor mobil listrik Cina dari 25% menjadi 100%. Namun, Wakil Menteri Keuangan AS, Jay Shambaugh, mengatakan langkah-langkah baru diperlukan oleh pemerintah AS untuk mengatasi tantangan banjirnya produk Cina.

Menurutnya, produksi Cina dalam beberapa industri jauh melampaui proyeksi permintaan global. Akibatnya, ekpsor produk Cina berlebihan dan dapat mengganggu pasar dan lapangan kerja di AS. 

"Pendekatan yang lebih kreatif mungkin diperlukan untuk mengurangi dampak kapasitas berlebih Cina," ujar Jay dikutip Reuters, Jumat (12/7).

Dia mengatakan, Pemerintah AS harus dengan jelas melakukan pertahanan terhadap kapasitas berlebih atau dumping untuk melindungi perusahaan dan pekerja dari distorsi dalam ekonomi lain. Untuk itu, Pemerintah AS baru-baru ini telah meningkatkan tarif perdagangan, termasuk tarif "Section 301," sebagai upaya awal untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif kapasitas produksi berlebih Cina. 

Di sisi lain, legislator AS dari berbagai partai bersama dengan produsen baja, telah mengajukan RUU "Leveling the Playing Field 2.0" ke Kongres. RUU ini bertujuan untuk memberlakukan tarif anti-dumping dan anti-subsidi terhadap barang-barang Cina yang diproduksi di negara ketiga, serta menghitung subsidi yang diberikan Cina untuk proyek-proyek infrastruktur internasionalnya

Selain mobil listrik, industri panel surya Cina juga mulai membanjiri sejumlah negara, termasuk AS. Cina berhasil memotong harga hampir 50 persen untuk grosir panel yang dijualnya.

Selain itu, ekspor panel surya yang dirakit penuh naik 38 persen, dan ekspor komponen utama hampir naik dua kali lipat. Industri tenaga surya di Cina yang berkembang pesat, berbanding terbalik dengan AS dan Eropa. Dua kawasan tersebut tengah mencoba menghidupkan kembali produksi energi terbarukannya dan membantu perusahaan menangkis kebangkrutan. 

Cina menjadi menjadi prodsen modul surya dengan biaya terendah di dunia. Unit penelitian Komisi Eropa dalam sebuah laporan pada bulan Januari mengungkapkan bahwa perusahaan Cina dapat membuat panel surya seharga US$ 0,16 sen (Rp 2.523)  hingga US$ 0,18 (Rp 2.826) per watt kapasitas pembangkit.

Sebaliknya, biayanya perusahaan Eropa US$ 0,24 (Rp 3.768) hingga US$ 0,3 (Rp 4.711) per watt, dan perusahaan AS sekitar US$ 0,28 (Rp 4.397). Perbedaan ini mencerminkan biaya produksi yang lebih rendah di Cina.

Bank-bank milik negara di Cina juga telah meminjamkan modal dengan suku bunga rendah. Pembiayaan dengan bunga rendah juga tetap diberikan kepada perusahaan tenaga surya yang rugidan bahkan telah bangkrut. Pasalnya, perusahaan tenaga surya di Cina telah menemukan cara untuk membangun dan melengkapi pabrik dengan harga murah.

Di sisi lain, memproduksi bahan baku utama untuk panel surya, polisilikon, membutuhkan energi dalam jumlah besar. Panel surya biasanya harus menghasilkan listrik setidaknya selama tujuh bulan untuk mendapatkan kembali listrik yang dibutuhkan untuk membuatnya.

Namun, perusahaan Cina berhasil menekan biaya dengan memasang ladang penal surya di gurun Cina barat. Perusahaan kemudian menggunakan listrik dari peternakan tersebut untuk membuat lebih banyak polisilikon.

"Jika produsen Cina tidak menurunkan biaya panel lebih dari 95 persen, kami tidak dapat melihat begitu banyak instalasi di seluruh dunia," kata Tuan Kevin Tu, seorang ahli energi Beijing dan rekan non-residen dengan Pusat Kebijakan Energi Global di Universitas Columbia.  


Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...