COP29 Sepakat Negara Kaya Harus Bayar Rp 4.740 T untuk Atasi Perubahan Iklim
Negara-negara di KTT COP29 yang digelar di Baku, Azerbaizan mengadopsi target keuangan global sebesar U$300 miliar atau setara Rp 4.740 triliun per tahun, dengan asumsi kurs Rp 15.800 per dolar AS pada Minggu (24/11). Dana ini akan membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim, tetapi dikritik karena dianggap tidak memadai.
Kesepakatan ini dicapai melalui konferensi dua minggu di ibu kota Azerbaijan, bertujuan untuk memberikan momentum bagi upaya internasional untuk mengekang pemanasan global yang mencapai rekornya pada tahun ini.
Kepala iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Simon Stiell mengakui, kesepakatan diperoleh melalui negosiasi yang sulit. Namun, kesepakatan ini dapat menjadi polis asuransi bagi umat manusia menghadapi pemanasan global.
"Kesepakatan ini akan membuat ledakan energi bersih terus tumbuh dan melindungi miliaran jiwa," ujar Stiell dikutip dari Reuters, Minggu (24/11).
Kesepakatan ini akan menyediakan US$300 miliar per tahun pada 2035, meningkatkan komitmen negara-negara kaya sebelumnya untuk menyediakan US$100 miliar per tahun dalam pendanaan iklim pada 2020. Sasaran sebelumnya itu terpenuhi dua tahun kemudian, pada 2022, dan berakhir pada 2025.
Kesepakatan ini juga meletakkan dasar bagi pertemuan puncak iklim tahun depan, yang akan diadakan di hutan hujan Amazon di Brasil, tempat negara-negara tersebut memetakan aksi iklim dekade berikutnya.
Ini dari pembahasan dalam pertemuan puncak iklim di Baku, Azerbaizan adalah tanggung jawab finansial negara-negara industri, yang penggunaan bahan bakar fosilnya secara historis telah menyebabkan sebagian besar emisi gas rumah kaca, untuk memberi kompensasi kepada negara lain atas kerusakan yang semakin parah akibat perubahan iklim.
Pertemuan ini juga mengungkap perpecahan antara pemerintah kaya yang dibatasi oleh anggaran domestik yang ketat dan negara-negara berkembang yang terhuyung-huyung akibat biaya badai, banjir, dan kekeringan.
Negosiasi seharusnya selesai pada Jumat (22/11), tetapi mengalami perpanjangan waktu karena perwakilan dari hampir 200 negara berjuang untuk mencapai konsensus. Pembicaraan terhenti pada Sabtu (21/11 karena beberapa negara berkembang dan negara-negara kepulauan meninggalkan pertemuan karena frustrasi.
"Kami akan mulai dengan sebagian kecil dana yang sangat dibutuhkan negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Jumlah itu tidak cukup, tetapi ini adalah awal," kata Tina Stege, utusan iklim Kepulauan Marshall.
Dunia telah berupaya mencari pendanaan untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris guna membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri - yang jika melampaui batas tersebut dapat menimbulkan dampak iklim yang dahsyat.
Menurut Laporan Kesenjangan Emisi PBB 2024, dunia sedang menuju pemanasan hingga 3,1 derajat Celsius pada akhir abad ini dengan emisi gas rumah kaca global dan penggunaan bahan bakar fosil yang terus meningkat.
Meseki mencapai kesepakatan terkait target pendanaan iklim, kesepakatan pada Minggu (24/11) gagal menetapkan langkah-langkah terperinci tentang bagaimana negara-negara akan bertindak atas janji KTT iklim PBB tahun lalu untuk beralih dari bahan bakar fosil dan melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada dekade ini. Beberapa negosiator mengatakan, Arab Saudi telah berupaya memblokir rencana tersebut selama perundingan. Pejabat Saudi tidak memberikan komentar.
"Jelas ada tantangan dalam mendapatkan ambisi yang lebih besar saat Anda bernegosiasi dengan Saudi," kata penasihat iklim AS John Podesta.
Daftar negara yang diminta untuk berkontribusi mencapai lebih dari 20 negara industri, termasuk AS, negara-negara Eropa, dan Kanada. Negara-negara tersebut berasal dari daftar yang diputuskan selama perundingan iklim PBB pada tahun 1992.
Pemerintah Eropa telah menuntut negara lain untuk membayar, termasuk Cina, ekonomi terbesar kedua di dunia, dan negara-negara Teluk yang kaya minyak. Kesepakatan terbaru ini mendorong negara-negara berkembang untuk memberikan kontribusi, tetapi tidak mewajibkannya.
Kesepakatan ini juga mencakup tujuan yang lebih luas untuk mengumpulkan US$1,3 triliun dalam pendanaan iklim setiap tahun pada tahun 2035, yang akan mencakup pendanaan dari semua sumber publik dan swasta. Menurut para ekonom, ini sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi pemanasan global.
Negara-negara yang hadir juga menyetujui aturan untuk pasar global membeli dan menjual kredit karbon. Menurut para pendukungnya, aturan ini dapat memobilisasi miliaran dolar lebih banyak ke dalam proyek-proyek baru untuk melawan pemanasan global, mulai dari reboisasi hingga penerapan teknologi energi bersih.
Mendapatkan kesepakatan pendanaan iklim merupakan tantangan sejak awal. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS bulan ini telah menimbulkan keraguan di antara beberapa negosiator bahwa ekonomi terbesar di dunia itu akan membayar setiap tujuan keuangan iklim yang disepakati di Baku.
Trump, seorang Republikan yang akan menjabat pada bulan Januari, telah menyebut perubahan iklim sebagai tipuan dan berjanji untuk sekali lagi mengeluarkan AS dari kerja sama iklim internasional.
Pemerintah Barat telah melihat pemanasan global merosot dari daftar prioritas nasional di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, termasuk perang Rusia di Ukraina dan meluasnya konflik di Timur Tengah, dan meningkatnya inflasi.
Pertikaian mengenai pendanaan untuk negara-negara berkembang terjadi di tahun ini, yang menurut para ilmuwan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. Masalah iklim terus menumpuk, dengan banjir yang meluas menewaskan ribuan orang di seluruh Afrika, tanah longsor yang mematikan mengubur desa-desa di Asia, dan kekeringan di Amerika Selatan menyusutkan sungai-sungai.
Negara-negara maju tidak luput dari dampaknya. Hujan deras memicu banjir di Valencia, Spanyol, bulan lalu yang menewaskan lebih dari 200 orang, dan AS sejauh tahun ini telah mencatat 24 bencana yang menelan biaya miliaran dolar - hanya empat lebih sedikit dari tahun lalu.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: