Inilah ‘Greenwashing’, Komitmen Abal-abal Ramah Lingkungan

Reza Pahlevi
11 November 2022, 14:34
ramah lingkungan, greenwashing
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.
Seorang aktivis lingkungan menunjukkan hasil kerajinan alas gelas dan sabun berbahan plastik daur ulang dalam acara 'Green Future Festival' di Hutan Kota Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (29/10/2022).

Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) terbaru menunjukkan banyak janji pengurangan emisi oleh korporasi, perbankan, dan kota-kota di dunia sekadar praktik “greenwashing.”

Laporan yang terbit di tengah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau COP27 di Mesir tersebut bertujuan menunjukkan garis batas antara klaim dengan aksi iklim sebenarnya. Praktik greenwashing yang dapat menipu konsumen, investor, dan pembuat kebijakan.

Apa Itu Greenwashing?

Mengutip Encyclopedia of Corporate Social Responsibility, greenwashing adalah praktik promosi palsu tentang organisasi yang menjaga lingkungan. Greenwashing juga bisa dalam bentuk alokasi dana besar untuk mencitrakan sebagai organisasi ”hijau” ketimbang untuk aksi ramah lingkungan yang sebenarnya.

Istilah greenwashing pertama kali disebut dalam esai yang ditulis aktivis lingkungan Jay Westerveld pada 1986. Westerveld mengatakan, industri perhotelan mengklaim penggunaan ulang handuk sebagai strategi ramah lingkungan. Namun dia justru mencurigai langkah itu hanya cara menghemat beban operasi.

Kini banyak perusahaan melakukan praktik greenwashing untuk menggaet pasar anak muda yang lebih melek isu lingkungan. Tidak hanya untuk menggaet konsumen, praktik ini juga sering digunakan untuk menarik investor.

Maraknya praktik ini membuat beberapa negara menerbitkan produk hukum sebagai panduan atau menghukum pelaku greenwashing. Australia, misalnya, punya pasal dalam Australian Consumer Law yang menghukum perusahaan pemberi klaim ramah lingkungan palsu.

Tipe-tipe Praktik Greenwashing

Pada 2009, sebuah lembaga konsultan lingkungan dan pemasaran asal Kanada, TerraChoice, menemukan 95% produk konsumen setidaknya melakukan salah satu dari “tujuh dosa greenwashing”.

Ketujuh dosa atau praktik greenwashing tersebut adalah:

  1. Tarik-ulur tersembunyi: klaim produk “hijau” berdasarkan kriteria atribut yang sangat sempit tanpa mempertimbangkan masalah lingkungan lainnya yang lebih penting.
  2. Tanpa bukti: klaim yang tidak bisa dibuktikan dengan informasi yang mudah didapat atau tanpa sertifikasi pihak ketiga.
  3. Tidak jelas: klaim yang sangat jelas atau tanpa batasan hingga makna aslinya dapat disalahartikan oleh konsumen. Misal, produk “alami” tidak pasti berarti ramah lingkungan.
  4. Label palsu: klaim lewat foto atau kata-kata yang menyatakan adanya jaminan pihak ketiga tanpa ada jaminan aslinya.
  5. Tidak relevan: klaim yang memang ada, tetapi tidak penting atau tidak membantu konsumen yang mencari produk ramah lingkungan.
  6. Iblis yang lebih baik: klaim yang mungkin benar di antara produk sejenis tetapi mengabaikan dampak lingkungan dari tipe produk tersebut. Misal, klaim produsen bahan bakar minyak yang mengklaim lebih ramah lingkungan dari produk produsen lainnya.
  7. Klaim yang memang tidak benar.

Contoh Praktik Greenwashing

Salah satu praktik greenwashing yang kerap menjadi contoh adalah ketika perusahaan minyak dan gas (migas) BP, dulunya British Petroleum, mengenalkan konsep carbon footprint atau jejak karbon. BP membuat situs khusus di mana setiap orang bisa menghitung jejak karbonnya dari aktivitas berangkat kerja, membeli makanan, atau berwisata.

BP Meluncurkan kalkulator penghitung jejak karbon tersebut pada 2004. Tiga tahun sebelumnya, BP juga melakukan rebranding dengan mengubah nama British Petroleum menjadi Beyond Petroleum (lebih dari minyak) untuk mencitrakannya lebih hijau.

Cara BP membuat banyak orang sadar tentang jejak karbon. Termasuk kontribusi dari setiap orang terhadap perubahan iklim. Inisiatif ini awalnya terlihat baik. 

Akan tetapi, Julie Doyle seorang pengajar media dan komunikasi di Centre for Spatial, Environmental, and Cultural Politics University of Brighton mengatakan, aksi ini seolah membebankan masalah perubahan iklim ke orang-orang biasa. Sebaliknya mengabaikan penyumbang polutan terbesar, yakni kalangan industri, seperti BP.

“BP telah memanfaatkan kecemasan kolektif soal perubahan iklim untuk membangun citra dirinya sendiri. Ini sekaligus melepaskan tanggung jawab mereka sebagai kontributor perubahan iklim,” tulis Doyle dalam artikel berjudul “Where has the oil gone? BP branding and the discursive elimination of climate change” yang terbit pada 2011.

Doyle menulis artikel tersebut setahun setelah tragedi kilang offshore Deepwater Horizon bocor dan menyebabkan bergalon-galon minyak tumpah di Teluk Meksiko. Tidak hanya itu, tragedi tersebut juga menyebabkan 11 kru meninggal. Kilang tersebut dioperasikan oleh BP.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...