Hikayat Hotel Sultan, Bermasalah Sejak Awal Dibangun
Indobuildco tidak lagi menjadi pengelola Hotel Sultan per Jumat (3/3). Sebagai gantinya, pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara alias Kemensetneg akan mengelola hotel yang terletak di Blok 15 kawasan Gelora Bung Karno tersebut.
Perubahan itu seiring habisnya masa hak guna bangunan alias HGB PT Indobuildco per 4 Maret 2022. “Dengan berakhirnya HGB Nomor 27/Gelora dan Nomor 26/Gelora, (kami) akan mengelola sendiri,” ujar Sekretaris Mensesneg, Setya Utama.
Kemensetneg pun sudah membentuk Tim Transisi Pengelolaan Blok 15 Kawasan GBK untuk memanfaatkan lahan bagi kepentingan negara. Dengan langkah ini, negara secara resmi bisa mengelola Hotel Sultan, setelah hampir setengah abad pengelolaannya di tangan swasta.
Kasus ini mengingatkan publik tentang kisah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ketika kena kibul pengusaha swasta.
Sejarah Hotel Sultan, Bermasalah Sejak Pembangunan
Melansir laporan Detik.com, hotel ini sudah bermasalah sejak Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2007, Ali mengaku mengirim surat ke Pertamina pada 1971. Surat itu berisi permohonan agar Pertamina mau membangun hotel untuk konferensi se-Asia Pasifik.
Jumlah tamu konferensi itu diperkirakan mencapai 2500 hingga 3000 orang. Sedangkan hotel di Jakarta ketika itu tidak ada yang cukup menampung seluruh tamu tersebut.
Pertamina menjadi pilihan Ali lantaran posisinya sebagai badan usaha milik pemerintah (BUMN) dan sedang kaya-kayanya. Pada era 1970-an, pendapatan Indonesia diuntungkan dari oil boom sehingga bisa meraih cuan dari pertambangan minyak bumi.
Pria yang akrab disapa Bang Ali ini pun beranggapan pihak swasta tidak boleh membangun di kawasan GBK. Pada 1976 barulah Bang Ali mengetahui ternyata hotel tersebut bukan dibangun Pertamina, melainkan perusahaan swasta, bernama Indobuild.
Situasi bertambah runyam karena ia memberi HGB untuk perusahaan tersebut selama 30 tahun, dari 1973 hingga 2003. “Saya baru tahu Indobuildco itu bukan Pertamina. Iya, saya tertipu,” ujarnya dalam sidang tersebut.
Bila ditelaah, Indobuild dan Pertamina sebenarnya masih di bawah satu atap yang sama. Sebab pemimpin Indobuildco adalah Pontjo Sutowo, anak keempat dari Ibnu Sutowo yang adalah direktur utama Pertamina kala itu. Akhirnya, hotel ini tidak dikelola oleh negara, tapi oleh keluarga Sutowo.
Terlepas dari prahara tersebut, hotel pesanan Bang Ali akhirnya berdiri di sebagian lahan GBK pada 1976 dengan nama Jakarta Hilton International. Sesuai namanya, hotel ini adalah bagian dari Hilton International Group.
Indobuildco sempat mengajukan perpanjangan HGB pada 10 Januari 2002. Namun, pengajuan itu tidak sesuai prosedur sebab tidak mengantongi izin dari Badan Pengelola GBK. Padahal badan ini yang memiliki hak pengelolaan kawasan Senayan, yang juga adalah kepanjangan tangan negara.
Tapi Kepala Kanwil BPN DKI Jakarta tetap menerbitkan SK Perpanjangan HGB pada 13 Juni 2002, dengan jangka waktu 20 tahun terhitung 4 Maret 2003. Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta Robert J Lumempouw lalu dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena kesalahan itu.
Lepas Kontrak dengan Grup Hotel Internasional
Pada 31 Agustus 2006, hotel ini berganti baju. Usai putus kontrak dari Hilton Internasional, namanya berubah menjadi The Sultan Jakarta dan dikelola oleh Singgasana Hotels dan Resort. Cengkraman Pontjo Sutowo masih belum lepas dari hotel ini, sebab pemegang saham dan manajemennya masih sama seperti awal dibangun pada 1976.
Chief Operating Singgasana Nizar Sungkar, dalam catatan Tempo pada 2006 menuturkan, pemutusan kontrak ini tidak terkait dengan sengketa tanah di lokasi hotel itu. Bukan juga karena mahalnya biaya konsesi ke jaringan Hilton. “Ini bukan dari sisi penghematan atau biaya, tapi perbaikan ke depan,” ujar Nizar.
Tidak hanya di Jakarta, Hilton Internasional kala itu juga memutus kontraknya dengan hotel Hilton di Bali dan Surabaya. Singgasana Hotels dan Resort kemudian mengambil alih eks hotel Hilton di Surabaya.
Setahun pasca berganti nama, barulah Resident Manager Sultan Hotel Jakarta I Nyoman Sarya bercerita terkait pemutusan kontrak ini. Dalam wawancaranya dengan Detik.com, hotel tersebut dikelola oleh Hilton Internasional hingga 1999. Maka dari 1999 hingga 2006, hotel ini hanya memakai nama Hilton saja dan membayar royalti.
Sebelum pemutusan kontrak, Hilton pun sudah mencoba membuat usaha patungan bernama PT Kelola Santana Graha pada 1996. Harapannya perusahaan ini bisa mengelola hotel Hilton di Indonesia, tapi sayang tidak berjalan dengan semestinya.
“Nama Hilton ketika itu belum bisa dicabut karena ada license agreement, tapi manajemen Hilton International pull out. Jadi dibentuk cikal bakal Singgasana untuk mengelola Hilton, dan secara resmi diberlakukan pada 2006,” ujar Sarya.
Hotel Sultan Masa Kini
Hikayat Hotel Sultan masih berlangsung hingga 2019 lalu. Kala itu, debat Pemilihan Presiden 2019 dilaksanakan di hotel ini, mempertemukan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hotel Bintang Lima ini punya 694 kamar, termasuk di dalamnya lebih dari 60 suite dan lantai eksekutif dengan akses lounge. The Sultan Residence, yang masih menjadi bagian hotel itu, terdiri dari 250 unit apartemen dengan luas 110 meter persegi hingga 680 meter persegi.
Pantauan Katadata.co.id melalui aplikasi penyedia layanan hotel dan perjalanan, harga kamar di Hotel Sultan bervariasi dari Rp 1,1 juta hingga Rp 3,2 juta per malam. Bila ingin menyewa apartemen dengan dua kamar, maka harus merogoh kocek Rp 3,7 juta per malamnya.