Profil Anas Urbaningrum, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat

Image title
11 April 2023, 16:09
Anas Urbaningrum
ANTARA
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum saat berpidato usai bebas dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/4/2023).

Nazaruddin saat itu telah lebih dulu diincar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang yang melibatkan mantan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, dan sejumlah direktur perusahaan yang terlibat dalam pembangunan wisma itu.

Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu sejak 4 Juni 2011, namun melarikan diri ke Singapura sejak 23 Mei 2011 sebelum dicekal oleh KPK. Ia terbukti bersalah karena menerima komisi 13% atau sejumlah Rp25 miliar yang baru diterima sejumlah Rp4,3 miliar.

Nazaruddin ditangkap di Cartagena, Kolombia, pada 6 Agustus 2011 dan menjalani sidang perdana pada 16 November 2011. Dalam nota pembelaan atau eksepsinya, Nazaruddin menyebutkan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet yang lain, Hambalang. Ia menyatakan Anas mengatur agar PT Adhi Karya memenangkan proyek pembangunan wisma atlet di Bogor, Jawa Barat, tersebut.

"Bapak Anas Urbaningrum yang memutuskan bahwa yang menang di proyek Hambalang adalah PT Adhi Karya, bukan PT DGI (Duta Graha Indah). Yang menyampaikan saat itu adalah Bapak Mahfud Suroso (Direktur Dutasari Citralaras,) yang merupakan teman dekat dari Anas Urbaningrum," ujar Nazaruddin saat membacakan eksepsinya pada 7 Desember 2011.

Ihwal keterlibatan Anas sebagai pengatur proyek Wisma Hambalang bernilai Rp 1 triliun itu, Nazaruddin menyebutkan, didasari oleh kebutuhan Anas untuk menyelenggarakan kongres. Menurut Nazaruddin, saat itu Anas membutuhkan sekitar Rp 100 miliar agar dapat terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Nyanyian Nazaruddin mendapatkan perhatian dari KPK. Komisi antirasuah itu serius mendalami dugaan korupsi di sekitar pembangunan Wisma Atlet Hambalang atau Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) dan menetapkan Anas sebagai tersangka pada Februari 2013.

Anas dinyatakan terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya. Selain itu, ada Toyota Harrier seharga Rp 670 juta serta gratifikasi lainnya.

Hakim pengadilan tindak pidana korupsi saat itu menyatakan Anas juga terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 25,3 miliar dan US$ 36,000 dari Permai Group. Dari Nazaruddin sendiri, hakim menyatakan ia terbukti menerima Rp 30 miliar dan US$ 5,2 juta.

Menurut hakim, gratifikasi dari Permai Group dan Nazaruddin digunakan Anas untuk keperluan kongres Partai Demokrat dan mempermulus pencalonannya sebagai ketua umum. Belakangan, penggunaan uang untuk pencalonan ini dinyatakan tak terbukti oleh majelis hakim pada tingkat peninjauan kembali.

Di pengadilan tipikor, Anas divonis delapan tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan selama tiga bulan. Ia lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan menerima keringanan hukuman menjadi tujuh tahun penjara dan tetap dikenakan denda Rp 300 juta subsider kurungan tiga bulan.

Sidang E KTP
Ilustrasi, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Ia lalu mengajukan kasasi pada 2015, tetapi saat itu kasasinya ditolak oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim Artidjo Alkostar. Hukumannya justru diperberat menjadi 14 tahun penjara dengan denda sebesar Rp 5 miliar subsider 1,4 tahun kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp 57,59 miliar kepada negara.

Hakim saat itu memberi catatan uang pengganti wajib dilunasi Anas dalam waktu satu bulan. Jika tak dilunasi dalam kurun waktu tersebut, seluruh kekayaan Anas akan dilelang. Apabila setelah lelang tidak cukup, ia terancam penjara empat tahun.

Selain itu, Anas diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik. Hukuman tambahan ini merupakan permohonan dari jaksa KPK yang diakomodir oleh majelis hakim di tingkat kasasi.

Namun, Anas tetap melawan dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam upayanya ini, Anas mendapatkan pengurangan hukuman dari 14 tahun menjadi delapan tahun, sama dengan putusan pengadilan tingkat pertama.

Meski hukumannya menjadi lebih ringan, Anas tetap tak boleh dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak menjalani pidana pokok. Selain itu, Anas tetap berkewajiban mengembalikan uang senilai Rp 57 miliar dan US$ 5.200 kepada negara.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...