Sejarah Perundungan Dokter, Terjadi Sejak Era Kolonialisme Belanda
Perundungan oleh dokter senior ke dokter peserta pendidikan kedokteran spesialis ibarat budaya yang mengakar di intitusi pendidikan kedokteran. Kultur perisakan ini bahkan sudah terjadi sejak era kolonialisme.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) baru-baru ini membuat aturan yang melarang perundungan di institusi pendidikan kedokteran spesialis. Sanki bagi pelaku perisakan di institusi pendidikan kedokteran diatur dalam Instruksi Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/1512/2023.
“Kami memanggil dokter-dokter spesialis di lingkungan rumah sakit Kemenkes. Kami menemukan praktik perundungan oleh dokter umum maupun peserta didik dokter spesialis di rumah sakit vertikal sudah terjadi puluhan tahun,” papar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kamis, (20/6).
Budi mengungkap laporan sejumlah kasus perundungan, diantaranya peserta didik yang diperlakukan sebagai asisten, sekretaris, atau pembantu pribadi. Mereka diperintah mengantar baju kotor dan membayar biaya binatu, hingga antar jemput anak dokter senior.
Bahkan ada korban yang diminta mengeluarkan biaya hingga puluhan juta untuk kepentingan pribadi oknum dokter spesialis.
Lewat instruksinya, Budi merilis tiga jenis hukuman bagi dokter senior atau pengajar yang melakukan perisakan kepada juniornya. Sanksi tersebut dibagi menjadi tiga kategori: sanksi ringan, sanksi sedang, hingga sanksi berat.
Sanksi ringan adalah teguran tertulis ke pengajar maupun dokter yang merupakan senior peserta didik. Hukuman juga bisa diberikan kepada Direktur Utama rumah sakit. Jika kejadian terus berulang atau perundungan dilakukan dalam skala berat, maka sanksi sedang akan diberlakukan, yakni tiga bulan skorsing.
Hukuman terberat adalah pembebasan jabatan dan status. Pelaku yang merupakan tenaga kesehatan di bawah Kemenkes akan diturunkan satu tingkat pangkatnya selama setahun.
"Kalau kakak kelas melakukan itu, kami minta tak belajar di rumah sakit Kemenkes," kata Budi.
Sementara bagi korban yang merasa mendapat perundungan dapat melapor lewat laman https://perundungan.kemkes.go.id/ atau lewat telepon/Whatsapp 0812-9979-9777.
Laporan tersebut bakal diinvestigasi tim dari Inspektorat Jenderal.
Cikal Bakal Perisakan di Sekolah Kedokteran
Jika ditelusuri, tradisi merundung di sekolah kedokteran bermula sejak zaman kolonialisme. Mohammad Roem, siswa di sekolah asrama Stovia (Sekolah Dokter Bumiputera) mengisahkan pengalaman pelonco ketika masuk sekolah Stovia pada tahun 1924 dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3.
Kala itu penataran siswa baru dikenal dengan istilah “ontgroening”. Kata groen artinya hijau, melambangkan murid baru yang masih hijau. Ontgroening bertujuan untuk menghilangkan warna “hijau” tersebut.
“Dia harus diperlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa, berkenalan dengan teman-teman seluruh Stovia," kata Roem.
Di Stovia ontgroening berlangsung selama tiga bulan, namun tak boleh dilakukan saat waktu belajar dan waktu istirahat. Kegiatan ini juga diawasi secara ketat sehingga tak ada kejadian yang melampaui batas.
Materi ontgroening saat itu hanya seputar perkenalan latar belakang siswa. Roem menceritakan bahwa ia yang bersuku jawa diminta untuk menghafal aksara jawa secara urut dari belakang.
"Waktu (ontgroening) dibatasi … masih banyak waktu di luar itu (waktu belajar dan istirahat) dan memang suasana ramai selama 3 bulan pertam," ungkap Roem.
Ontgroening di balik tembok asrama STOVIA tidak boleh menggunduli kepala siswa dan hanya dilakukan dalam lingkungan sekolah.
Praktik Perundungan Fisik Era Jepang
Jika penataran siswa kedokteran di era Belanda terbatas pada pengenalan latar belakang siswa dengan sedikit bumbu “gertakan”, maka sekolah kedokteran era penjajahan Jepang (Ika Daigaku) memulai praktik perisakan secara fisik.
Ika Daigaku saat itu mengenalkan perpeloncoan yang berasal dari kata plonco, artinya kepala gundul. Masa-masa ontgroening pun beralih istilah menjadi “Pelonco” di masa pendudukan Jepang.
“Hanya anak kecil yang memiliki kepala gundul pada waktu itu. Sehingga anak kecil yang gundul perlu diberi pengetahuan dan petunjuk untuk masa depannya,” kata mahasiswa Ika Daigu (Sekolah Kedokteran), seperti dikutip R. Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi Kehidupan Akademik.
Di Jepang hanya kaisar sebagai keturunan Dewa Matahari yang boleh punya rambut, sehingga kepala gundul menjadi kelaziman laki-laki di era tersebut.
Praktik perundungan senior-junior terus berlanjut hingga masa revolusi kemerdekaan, contohnya di Universitas Indonesia pada April 1949, Klaten, Solo, dan Malang. Pada dekade 1950-an banyak sekolah tinggi dibuka, praktik pelonco berkembang lebih buruk, tak lagi mengacu pada penggundulan mahasiswa baru, melainkan dibentak dan diperintah senior.