Riwayat Konversi Bahan Bakar, dari Minyak Tanah hingga Elpiji
Liquefied Petroleum Gas alias LPG ukuran 3 kilogram (LPG 3 kg) belakangan langka di beberapa area. Daerah yang mengalami kesulitan akses LPG 3 kg mencakup Magetan, Banyuwangi, dan beberapa wilayah di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyebut kebijakan Pertamina meluncurkan produk LPG 3 kg non subsidi bermerek Bright menjadi salah satu faktor kelangkaan.
“Kebijakan itu akan membuat pengadaan dan pendistribusian LPG 3 kg bersubsidi semakin terbatas dan sulit. Ujung-ujungnya masyarakat dipaksa membeli LPG 3 kg non subsidi,” kata Mulyanto dalam siaran pers nya, Kamis (27/7).
Selama ini barang-barang bersubsidi dimanfaatkan sebagai celah mengambil keuntungan oleh oknum tertentu. Barang-barang bersubsidi dijual menjadi barang non-subsidi dengan harga lebih mahal. Begitupun elpiji, modusnya mengoplos atau memindahkan isi gas elpiji dari tabung melon 3 kg bersubsidi ke dalam tabung 12 kg non subsidi.
“Adanya produk gas elpiji Bright berwarna pink berukuran 3 kg non subsidi ini, yang sama persis dengan gas melon 3 kg bersubsidi, akan semakin memudahkan pengoplosan,” ujar Mulyanto.
Tabung gas elpiji 3 kg non subsidi bermerek Bright sejatinya sudah diluncurkan pada Juli 2018 lalu. Saat itu Pertamina menyiapkan 3.500 tabung dengan menyasar masyarakat menengah ke atas. Elpiji 3 kg non subsidi diluncurkan agar elpiji non subsidi digunakan secara tepat sasaran.
Harga gas non subsidi ini dijual dua kali lipat lebih mahal, yaitu Rp56.000 terbatas di Jakarta dan Surabaya. Sementara gas melon 3 kg bersubsidi sebesar Rp20.000. Untuk membedakan, jika elpiji subsidi berwarna hijau muda, maka elpiji 3 kg non subsidi berwarna merah muda.
Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Medio 2006 lewat inisiasi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Indonesia memulai konversi dari minyak tanah ke batu bara. Sebelum memutuskan kebijakan ini, pemerintah sempat mempertimbangkan konversi dari minyak tanah ke batu bara.
Rencana tersebut gagal karena hasil studi banding Kementerian ESDM ke Cina. Mereka ingin mengetahui kelayakan penggunaan batu bara dalam rumah tangga, namun batu bara dinilai tidak layak karena dapat menyebabkan penyakit tuberkulosis (TBC).
Akhirnya rencana awal berubah ke konversi elpiji. Kementerian ESDM saat itu menargetkan sekitar 40 juta Kepala Keluarga (KK) miskin yang tersebar di seluruh Indonesia mendapat paket kompor gas beserta tabung LPG 3 kg subsidi.
Pemerintah lalu menyiapkan 40 juta kompor LPG beserta asesorisnya serta 100 juta tabung LPG 3 Kg untuk program tersebut.
Untuk menyukseskan kebijakan konversi tersebut, pemerintah memberikan kompor dan tabung gas senilai Rp225.000 secara cuma-cuma kepada masyarakat. Total anggaran yang dikeluarkan pemerintah saat itu mencapai Rp15 trilliun.
Sebelum memilih elpiji sebagai alternatif, JK meminta Universitas Trisakti untuk menimbang efisiensi elpiji sebagai bahan bakar. Ternyata penelitian yang dilakukan Laboratorium Energi Universitas Trisakti menyebut biaya merebus air 5 liter setara Rp11,6 per menit untuk LPG dan Rp13,8 per menit untuk minyak tanah.
Singkatnya elpiji lebih murah untuk bahan bakar dibanding minyak tanah. Sebanyak 1 liter minyak tanah setara dengan 0,45 kg elpiji. Selain kerjasama dengan Trisakti, JK juga meminta Pertamina melaksanakan uji coba konversi minyak tanah ke gas di daerah Kemayoran.
“Di survei 60% masyarakat setuju,” kata JK kala itu.
Menurut JK, kebijakan diversifikasi energi yang diterapkan pemerintah berhasil dan diterima baik oleh masyarakat karena memenuhi tiga prinsip utama, yakni bersih, murah dan mudah.
Alasan terpenting adalah biaya produksi LPG lebih murah dibanding minyak tanah. Biaya produksi minyak tanah tanpa subsidi sekitar Rp6.700/liter. Jika dengan subsidi Rp2.500/liter. Untuk satu satuan setara minyak tanah, biaya produksi LPG tanpa subsidi adalah Rp4.200/liter. Sedang LPG dengan subsidi adalah Rp2.500/liter.