Perjalanan UU Ciptaker, Penuh Gejolak, Penolakan, dan Gugatan ke MK

Mela Syaharani
3 Oktober 2023, 11:07
uu cipta kerja, uu ciptaker, omnibus law, mahkamah konstitusi
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah massa yang tergabung dari berbagai serikat buruh melakukan unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (2/10). Aksi mereka kali ini bertepatan dengan pembacaan uji formil mengenai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya MK menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja yang dilayangkan sejumlah kelompok buruh.

Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai undang-undang tak melanggar ketentuan.  ML menolak lima perkara yang menggugat undang-undang tersebut.

"Mengadili, menolak permohonan para permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Senin (2/10), dikutip dari Antara

Kelima perkara yang ditolak adalah Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, 50/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, dan 40/PUU-XXI/2023.Perkara Nomor 54, 41, 46, dan 50 mengajukan uji formil UU Cipta Kerja, sedangkan Perkara Nomor 40 mengajukan uji formil dan materi atas UU tersebut.

Mahkamah menilai permohonan para pemohon kelima perkara itu tidak beralasan menurut hukum. "Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ucap Anwar membacakan konklusi.

PENYERAHAN SURAT PRESIDEN TENTANG RUU CIPTA KERJA
PENYERAHAN SURAT PRESIDEN TENTANG RUU CIPTA KERJA (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Perjalanan UU Ciptaker

Cikal bakal UU Ciptaker bermula dari banyaknya regulasi yang ada di Indonesia. Menurut laman peraturan.go.id, jumlah regulasi per 2 Oktober 2023 mencapai lebih dari 57 ribu yang terdiri atas undang-undang hingga peraturan tingkat wali kota/bupati.

Situs Indonesia.go.id menulis, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas pada 2018 menyebut regulasi tumpang tindih serta ego sektoral institusi menjadi faktor penghambat terbesar bagi pertumbuhan ekonomi. 

Merespon kondisi tersebut, pada 20 Oktober 2019 pasca-pelantikan Presiden Joko Widodo, ia memberikan pidato berisi gagasan soal omnibus law. Presiden menyebut, keberadaan undang-undang sapu jagat dapat menyederhanakan kendala regulasi yang berbelit.

Jokowi ketika itu berencana menggandeng DPR untuk menggodok UU Cipta Lapangan Kerja serta UU Pemberdayaan UMKM. Harapannya, omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang.

Kedua, omnibus law  diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.  “Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa UU lainnya, bahkan puluhan UU,” kata Jokowi dikutip dari Indonesia.go.id.

Menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law berasal dari omnibus bill. Ini  merujuk pada aturan  yang mencakup berbagai isu atau topik. Kata "omnibus" berasal dari bahasa Latin yang berarti "segalanya". 

Omnibus law atau omnibus bill diajukan pemerintah kepada DPR untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Konsep ini sebenarnya berusia cukup tua. Di Amerika Serikat (AS) tercatat omnibus law pertama kali dibahas pada 1840.

Kembali ke Indonesia, sekitar 82 UU yang terdampak keberadaan omnibus law tersebut.. Pemerintah lalu mengajukan draf omnibus law ke DPR pada Desember 2019. 

Usai mengajukan kepada DPR, Presiden meminta kepada Ketua DPR Puan Maharani agar pembahasan omnibus law selesai dalam waktu tiga bulan.  "Saya sudah bisik-bisik, kalau bisa jangan lebih dari tiga bulan," ujar Jokowi ketika itu. 

SIDANG UJI MATERIIL UU CIPTA KERJA
SIDANG UJI MATERIIL UU CIPTA KERJA (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.)

Dibahas DPR

Omnibus law baru mulai dibahas DPR pada Rapat Paripurna ke-13 yang terlaksana pada 2 April 2020. Kemudian dalam rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR menyerahkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) pada Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Baleg lalu membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker pada 14 April 2020, yang terdiri atas 35 orang anggota dan lima orang pimpinan Baleg DPR. Panja kemudian mengawali kerjanya pada 27 April 2020 dengan menggandeng sejumlah ahli, pakar dan akademisi terkait. Termasuk di dalamnya dari asosiasi profesi, pengusaha dan juga serikat buruh.

Enam bulan berselang, DPR kemudian mengesahkan Rancangan RUU Ciptaker menjadi undang-undang melalui rapat paripurna yang terlaksana pada 10 Oktober 2020.  Dalam rapat tersebut hanya dua dari sembilan fraksi yang tetap menolak RUU itu, yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat.

RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU, karena mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah sepakat. Usai disahkan menjadi UU, Jokowi menandatangani aturan tersebut pada November 2020. 

UNJUK RASA TOLAK RUU CIPTA KERJA
UNJUK RASA TOLAK RUU CIPTA KERJA (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.)

Gelombang Penolakan

Munculnya penolakan dari masyarakat soal UU Ciptaker ini sudah ada sejak tiga tahun lalu. Bahkan pada Oktober 2020, golongan masyarakat yang terdiri atas mahasiswa dan pekerja melakukan demo di Jakarta untuk menuntut agar pemerintah membatalkan omnibus law dan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU atau Perppu.

Sejumlah pasal dianggap bermasalah. Pasal tersebut mencakup soal ketenagakerjaan, pendidikan, pers hingga lingkungan hidup. 

Dikutip dari Tirto.id, menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja berisi pasal-pasal yang dapat mengancam hak setiap orang untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, serta bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional.

Halaman:
Reporter: Mela Syaharani
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...