Harga Minyak Turun, Chevron Akuisisi Noble Energy Senilai Rp 74 T
Chevron Corporation berencana membeli saham perusahaan migas Noble Energy senilai US$ 5 miliar atau sekitar Rp 74 triliun. Aksi korporasi tersebut merupakan nilai akuisisi terbesar sejak pandemi corona memukul harga minyak ke level terendah.
Dilansir dari Reuters, Chevron merupakan salah satu perusahaan minyak Amerika Serikat (AS) yang mampu bertahan di tengah krisis akibat Covid-19. Sepanjang triwulan pertama 2020, perusahaan itu mampu membukukan kas sebesar US$ 8,5 miliar.
Dana tersebut didapat dari pembatalan akuisisi Andarko sebesar US$ 33 miliar pada tahun lalu. Selain itu, perusahaan segera memangkas pengeluaran setelah harga minyak jatuh.
Alhasil, Chevron mampu meningkatkan investasi pada proyek shale di AS. Selain itu, perusahaan bisa mengakuisisi Noble Energy yang memiliki aset migas unggulan di Leviathan, Israel. Aset tersebut mengandung cadangan gas alam terbesar sekawasan Mediterania Timur.
Akuisisi itu juga menjadikan Chevron sebagai perusahaan minyak pertama yang masuk ke Israel. Meski begitu, Chief Executive Officer Mike Wirth mengatakan pihaknya telah mempertimbangkan perbedaan politik dan tensi antara Israel dan negara tetangganya sebelum melancarkan aksi korporasi tersebut.
Pasalnya, perusahaan memiliki bisnis di Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan wilayah Kurdis, Iran. "Kami terlibat dengan semua pemangku kepentingan yang berbeda saat kami melalui sesuatu seperti ini," kata Wirth seperti dikutip dari Reuters pada Selasa (21/7).
Menteri Energi Israel Yuval Steinitz mengatakan akuisisi tersebut menunjukkan kondisi pasar energi Israel yang bagus. Sementara itu, Senior Vice President Wood Mackenzie Tom Ellacott mengatakan lapangan gas Israel itu bakal menyeimbangkan portofolio gas di kawasan tersebut.
Pasalnya, perusahaan minyak dalam tekanan untuk mengurangi produksi karbon. Gas menjadi alternatif bahan bakar yang lebih bersih. Selain itu, Akuisisi Noble Energy bakal menjadikan Chevron sebagai perusahaan dengan aset shale terbesar di Colorado karena berhasil menguasai Permian Basin yang jadi lapangan shale teratas di AS.
Di sisi lain, Noble energi yang pada tujuh bulan lalu memiliki kapitalisasi pasar sekitar US$ 12 miliar harus turun menjadi US$ 4,63 miliar pada akir pekan lalu. Namun, saham Noble berhasil naik 5,4% menjadi US$ 10,18 per saham pada penutupan perdagangan pada akhir pekan lalu.
Meskipun, saham perusahaan itu telah jatuh lebih dari 60% sepanjang tahun ini. Sedangkan saham Chevron turun 2,2% menjadi US$ 85,27 per saham.
Nilai penawaran Noble disebut-sebut mencapai US$ 10,38 per saham dengan premi 7,5% berdasarkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dengan memperhitungkan utang perusahaan, nilai akuisisi ditaksir mencapai US$ 13 miliar.
Pemegang saham Noble akan memiliki sekitar 3% setelah kesepakatan selesai. Kesepakatan kedua perusahaan diproyeksi rampung pada kuartal keempat tahun ini. Chevron memperkirakan akuisisi itu bakal menghemat biaya hingga US$ 300 juta dan menambah arus kas dan pendapat perusahaan jika harga minyak dunia tetap US$ 40 per barel.
Akuisisi tersebut juga menambah cadangan terbukti Chevron sekitar 18%. Noble tercatat memiliki cadangan migas terbukti hingga 2,05 miliar barel setara minyak. Sedangkan Chevron memiliki cadangan migas terbukti 11,4 miliar barel setara minyak.
Di sisi lain, Chevron Pacific Indonesia dikabarkan hengkang dari proyek Indonesia Deep Water Development (IDD). Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menegaskan Chevron masih berkomitmen mengembangkan proyek tersebut.
Sekretaris SKK Migas Murdo Gantoro mengatakan Chevron memerlukan waktu untuk mengkaji kembali rencana pengembangan IDD tahapII.
"Sejauh ini Chevron menyatakan komitmen terhadap proyek IDD, namun mereka sedang review ulang strategi pengembangan proyek," kata Murdo, kepada Katadata.co.id, Senin (20/7).
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mendesak agar Chevron segera menyerahkan proposal PoD IDD tahap II. Sebab, sudah ada beberapa pihak yang tertarik untuk ikut serta mengembangkan proyek tersebut.
Di sisi lain, pandemi virus corona mengakibatkan proses kegiatan pengembangan proyek IDD menjadi terhambat. Sehingga, evaluasi untuk kajian nilai keekonomian tidak berjalan dengan semestinya.